Mastitis; Sebuah Mimpi Buruk
Langit cerah itu seketika berubah menjadi kelabu. Begitulah mungkin gambaran yang tepat perihal situasi yang kurasakan saat ini. Tidak pernah terbayang bahwa mengalami mastitis akan sesakit ini. Sakit fisik yang membawa sampai ke IGD, hingga sakit hati dan mental yang tak bisa digambarkan lagi.
Ini adalah momen menyusuiku yang kedua. Setelah proses menyusui anak pertama yang berhasil sukses eksklusif dua tahun delapan bulan tanpa hambatan, diri ini merasa sesumbar bahwa anak kedua juga akan sama. Hingga pada akhirnya penyesalan itu memang datang di akhir kisah.
Pada moment ini yang akan kutekankan adalah bahwa konsistensi ketika seorang ibu sedang masa menyusui itu memang teramat penting. Saat moment menyusui anak pertama, sebagai seorang ibu baru yang sangat semangat untuk terus belajar dan mencari tahu, aku begitu konsisten baik ketika dbf hingga waktunya pumping. Hingga rasa lelah tak lagi mampu menghalangiku untuk terus pumping bahkan tanpa tidur di tengah malam. Ternyata itu adalah kunci kenapa ASI untuk Ezaz bisa semelimpah itu. Di luar “harus merasa bahagia tanpa stress”.
from this |
Mulai masanya aku kembali menyusui anak kedua dengan sangat sesumbarnya. Memang, di awal menyusui, ASI untuk Dygta juga melimpah hingga baru sebulan-dua bulan kami sudah kuwalahan mencari baby yang membutuhkan donor ASI karena freezer ASI kami sudah tak mampu menampungnya lagi. Dbf dan pumping terus berjalan meski tidak seintens ketika momen menyusui Ezaz. Tidak ada lagi pumping di tengah malam, tidak ada lagi pumping setiap tiga jam sekali, tetapi ASI masih melimpah.
Kuakui, memiliki satu anak dan memiliki dua anak memang sangat berbeda. Tidak lagi sama. Lelahnya, emosinya, pikirannya. Bahagianya pun juga berlipat. Menjadi seorang ibu yang memiliki baby newborn dan toddler adalah sebuah pengalaman yang tak akan pernah terbayangkan sebelumnya. Di luar dari kata sesumbar, rasa lelah yang berlipat semenjak menjadi ibu dua anak pula yang menambah rasa malasku untuk terus konsisten terhadap pumping. Lelah rasanya ketika pulang kerja dan ingin langsung bersama dengan anak-anak hingga waktunya mereka terlelap berhasil menguras ego dan rasa malasku untuk untuk sekadar pumping hingga mencuci perlengkapannya. Rasanya tenaga ini sudah hilang sepenuhmya.
Menjadi seorang ibu memang akan menjadi titik di mana kita kehilangan diri sendiri. Tidak ada lagi tidur malam tanpa terbangun 3-4 kali untuk menyusui. Tidak ada lagi punggung yang tidak akan pernah merasa pegal setelah semalaman menyusui. Bukan. Semua ini bukan berarti aku merasa menyesal telah menjadi seorang ibu. Segalanya semakin menguatkanku tentang apa arti ibu yang sesungguhnya. Perihal kenapa surga berada di bawah telapak kaki ibu.
Di usia Dygta sekitar tiga bulan, kami berlibur ke Bandung selama tiga hari. Pumping hingga semua perlengkapan cuci-cucinya sudah dibawa juga. Tapi ibu dua anak yang semakin mudah merasa lelah ini akhirnya memutuskan untuk tidak pumping selama tiga hari itu. Berfikir dimaksimalkan dbf ke Dygta merupakan solusi. Kupikir semua mimpi buruk ini berasal dari sini.
to this |
Belum hampir sebulan setelah liburan itu, payudaraku terasa sakit hingga menjalar ke seluruh tubuh. Tidak bengkak, tidak merah, hanya terasa panas di bagian yang sakit. Kata dokter itu gejala mastitis, meskipun tidak bengkak. Belum ada sebulan aku sudah mengalami kasus ini tiga kali dengan gejala yang sama. Ternyata semenyakitkan itu mastitis. Hingga tidak bisa beraktifitas apa pun. Sampai akhirnya pada kasus yang ketiga itu aku dilarikan ke IGD. Karena sama sekali nggak bisa makan minum, mau duduk saja muntah apalagi untuk menyusui adek. Alhamdulillahnya tidak harus rawat inap. Hanya diberi obat pereda rasa nyeri. Dan yang pasti tetap menyusui agar tidak semakin parah.
Jadi meskipun setelah liburan tiga hari di Bandung itu aku tetap kembali pumping setiap hari di rumah maupun di kantor, tetapi ternyata efek jangka panjangnya terasa banget. Payudara lebih sering terasa keras, penuh, tapi ketika dipumping tidak keluar. Bahkan moment LDR (Let Down Refluks) yang sebelumnya aku alami sering banget, semenjak mengalami mastitis momen itu jarang banget aku rasain.
Setelah kasus dilarikan ke IGD, aku tidak mengalami mastitis kembali. Tetapi produksi ASI secara bertahap turun dengan sangat cepat. Bingung, sedih, marah, semuanya jadi satu. Berkecamuk di dalam diri. Menyesal. Tidak jarang moment pumping pun sambil menangis. Tidak tahu bagaimana caranya agar keluar kembali seperti semula.
Aku merasa berdosa kepada adek. Di satu sisi merasa sedih karena harus stop supply donor ASI ke baby kembar limaku. Maafin ibu ya anak-anakku. Rasa lelah dan keegoisan ini ternyata kini berhasil menang.
Saat ini adek masih full ASI, meski yang aku pumping hari ini hasilnya sangat pas-pasan untuk diminumnya esok hari ketika ditinggal kerja. Bersyukurnya adalah adek lahap sekali perihal makan. Ia sangat lancar memamah potein hewani apa pun, sehingga aku tidak terlalu khawatir akan asupan nutrisinya. Karena di usia adek saat ini pun kadar ASI asinya berkurang. Tetapi rasa khawatir tidak bisa menyusui adek full ASI hingga dua tahun nanti tetap menghantui.
Bagaimana pun kondisinya saat ini, aku bersyukur masih bisa menyusui hingga detik ini. Namun jika waktu bisa diulang kembali, aku tidak akan meremehkan perihal pumping ASI secara konsisten.
Untuk semua ibu yang tengah berjuang dari mastitis, semangat ya. Kalian semua hebat. Bertahan dari rasa sakit fisik hingga batin ini. Percayalah bahwa apa yang terjadi memang sudah digariskan oleh-Nya.
kondisi freezer per 3 bulan sekali saat masa menyusui Ezaz sekarang freezernya kosong terus 🥲 |