Minggu, 25 Januari 2015

Tema ke-1 Kamisan season 3


Kita lihat, siapa yang lebih dulu jatuh, air hujan atau air mataku.
Dan kita lihat, siapa yang lebih bertahan untuk terus jatuh tanpa mengenal kata selesai, hujan atau tangisku.


***

Langit gelap, angin berembus dan dengan bengisnya menusuk sendi. Keriuhan yang seketika menjadi sunyi. Sepatu-sepatu mulai kocar-kacir mencari celah. Jalan-jalan yang semula ramai seketika menjadi lengang.
Sedang aku, masih santai berjalan menikmati embusan angin yang tanpa ragu memainkan helai-helai rambutku. Memandang langit yang semakin terlihat kelam. Hingga perlahan rintik-rintik air turun mengajakku bermain. Dan seketika air tumpah dari langit, bukan lagi gerimis. Ini bukan lagi saatnya bermain, ujarku pada diri.
Sesungguhnya aku benci menyerah pada hujan. Aku tak ingin menghindari basahnya. Namun aku tetap di sini sekarang. Berdiri meneduh di depan sebuah ruko yang atapnya cukup untuk melindungi. Dan sejak saat ini pula aku tak pernah bisa memutuskan bahwa aku harus membenci atau mencintai hujan. Aku tak tahu harus menyalahkan atau berterima kasih pada hujan.
Hujan pada senja kali ini, entah dengan atau tanpa sengaja yang telah mengirimmu. Meletakkanmu di sebelahku. Yang kupikir kau adalah salah satu manusia yang kalah pada hujan. Sama sepertiku.
Aku benci ketika kita sama-sama kalah oleh dingin dan basah air hujan. Sebab kekalahan kita, menjadi awal perjumpaan yang hingga saat ini masih membuat hujan di pelupuk mata. Untuk hujan yang satu itu, cukup aku saja yang merasa.
Aku merasa hujan tak bertanggung jawab atas pertemuan kita. Hujan tak mau menjaga kita. Kebersamaan kita.
Harusnya aku tahu, bahwa sebuah pertemuan akan selalu ada perpisahan. Dan seharusnya aku sudah mempersiapkan hati untuk sebuah luka jika aku telah menerima hadirnya cinta.
Nyatanya, aku tak benar-benar siap atas sebuah luka dan kecewa tersebab perpisahan.

***

Segala pesan dan teleponku dari pagi tak ada satu pun yang terbalas. Sungguh, aku benci sebuah hari yang tanpa kabar. Dan mengapa pria sungguh mudah hidup dengan mengabaikan sebuah kabar. Tidakkah mereka sadar bahwa tengah ada hati resah yang mengkhawatirkannya?
Malam itu, hujan turun dengan derasnya. Entah mengapa hati ini semakin resah. Seoalah ada banyak lalat-lalat menyebalkan yang memenuhi pikiran. Kukirim kembali pesan kepadamu. Entah sudah yang keberapa untuk hari ini. Tak perduli terjawab atau tidak, tetap kukirimkan. Mungkin untuk yang terakhir di hari ini jika tak ada jawaban lagi.
"Di mana? Baik-baik saja, kan? Hujan lebat, kuharap kamu nggak ke mana-mana. Aku mencemaskanmu."
Satu jam telah berlalu, tetap tak ada jawaban. Ada apa dengannya? Apa salahku? Apa ia bosan dan lelah denganku yang selalu menuntut kabar?
Aku sudah tidak peduli ia tak mengingat hari kelahiranku. Aku tak lagi mengharap meski hanya sebuah ucapan. Dua jam lagi hari akan berganti tanggal, dan hari kelahiranku sudah akan berlalu. Aku tak peduli. Aku hanya peduli dengan keadaannya.
Yang kutahu pasti, aku sungguh mencemaskannya. Sekalipun sempat terbersit masihkah ia mencintaiku? Aku tetap mencintainya dan semakin menyayanginya. Entah sudah berapa banyak air mata tersebabnya, dan sudah berapa kecewa tercetak karenanya. Aku tetap mencintainya.
Seperti malam ini, semisal. Hujan lebat dengan gelegar riuh menemani kembali air mataku yang tumpah. Kali ini air mata tersebab aku merindukannya sekaligus mencemaskannya. Entah, ketika rindu menjalar dengan kurang ajarnya, namun yang dirindukan tak kunjung bisa dihubungi, hanya air mata yang tebentuk. Seolah air mata pereda rindu. Bukan. Bukan pereda. Mungkin tepatnya penyalur.
Dering handphone berbunyi. Sebuah nama tecetak. Nama yang kunanti bersama air mata. Jelas lengkungan senyum merekah seketika meski air mata masih turun bersaing dengan lebatnya hujan malam ini.
Kau tahu, aku tak lagi berharap sebuah ucapan 'selamat ulang tahun' lagi darimu. Hanya sebuah kabar, itu saja, cukup. Tapi aku tak pernah berharap bahwa yang kudengar adalah suara lain dari nomormu yang menghubungiku malam ini.
Dengan derasnya hujan malam ini, suara itu bak petir yang menyambar dan menghancurkan setiap sendi pada tubuhku. Melumpuhkan jiwa hingga nafas.
Kamu meninggalkanku. Pergi tanpa pernah akan kembali. Di hari kelahiranku, kamu justru meninggalkanku. Sendiri. Tanpa sebuah kabar, apalagi kata-kata perpisahan. Haruskah mulai detik ini aku membenci hari kelahiranku?
Tetapi kamu meninggalkanku sebuah peninggalan. Sebuah kotak yang telah lusuh dan basah akibat terjatuh dan terkena hujan. Kotak berpita kuning yang berisi perlengkapan merajut dengan sebuah kartu ucapan di dalamnya. 'Selamat Ulang Tahun, Sayang.' Dengan beberapa baris kata yang menyayat hati.
Ternyata kamu ingat. Aku pernah berkata ingin belajar menyulam. Dan apakah kamu juga ingat bahwa aku berjanji untuk membuatkanmu sebuah rajutan yang bisa menghangatkanmu. Sebuah syal.
Kamu pun ternyata tidak lupa hari kelahiranku. Kamu hanya ingin memberiku sebuah kejutan. Tapi takdir tak mengijinkan. Kini, aku kehilanganmu tanpa pernah bisa bertemu lagi denganmu. Lantas, bagaimana aku harus membendung segala rindu padamu?
Hujan mempertemukan kita. Kenapa hujan juga yang harus membuatmu meninggalkanku?
Aku benci ketika kita kalah oleh hujan!

***

Aku masih di sini. Berdiri di bawah hujan berpayung kelam. Menanti hal yang sebenarnya tak perlu dinanti. Menunggu kekosongan yang hanya berisi lara.
Aku masih terus berlatih merajut, tapi tak pernah selesai. Mungkin yang kurajut hanyalah hujan, sedang hujan tak pernah selesai...



Jakarta, 2015
@fetihabsari

3 komentar

kasihan sekali :'( . pelajaran buat cewek nih, jangan suka berprasangka buruk sama cowok, hahahaha

REPLY

di KKBI embus, bukan hembus

REPLY

Owkeeyy, kakaak, siap catatt dan perbaiki...

REPLY

Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates