Kamisan S3 #1 ; Perajut Hujan
Tema ke-1 Kamisan season 3 |
Kita lihat, siapa yang lebih dulu jatuh, air hujan atau air mataku.
Dan kita lihat, siapa yang lebih bertahan untuk terus jatuh tanpa mengenal kata selesai, hujan atau tangisku.
***
Langit gelap, angin berembus dan
dengan bengisnya menusuk sendi. Keriuhan yang seketika menjadi sunyi.
Sepatu-sepatu mulai kocar-kacir mencari celah. Jalan-jalan yang semula ramai
seketika menjadi lengang.
Sedang aku, masih santai berjalan
menikmati embusan angin yang tanpa ragu memainkan helai-helai rambutku.
Memandang langit yang semakin terlihat kelam. Hingga perlahan rintik-rintik air
turun mengajakku bermain. Dan seketika air tumpah dari langit, bukan lagi
gerimis. Ini bukan lagi saatnya bermain, ujarku pada diri.
Sesungguhnya aku benci menyerah
pada hujan. Aku tak ingin menghindari basahnya. Namun aku tetap di sini
sekarang. Berdiri meneduh di depan sebuah ruko yang atapnya cukup untuk
melindungi. Dan sejak saat ini pula aku tak pernah bisa memutuskan bahwa aku
harus membenci atau mencintai hujan. Aku tak tahu harus menyalahkan atau
berterima kasih pada hujan.
Hujan pada senja kali ini, entah
dengan atau tanpa sengaja yang telah mengirimmu. Meletakkanmu di sebelahku.
Yang kupikir kau adalah salah satu manusia yang kalah pada hujan. Sama
sepertiku.
Aku benci ketika kita sama-sama
kalah oleh dingin dan basah air hujan. Sebab kekalahan kita, menjadi awal
perjumpaan yang hingga saat ini masih membuat hujan di pelupuk mata. Untuk
hujan yang satu itu, cukup aku saja yang merasa.
Aku merasa hujan tak bertanggung
jawab atas pertemuan kita. Hujan tak mau menjaga kita. Kebersamaan kita.
Harusnya aku tahu, bahwa sebuah
pertemuan akan selalu ada perpisahan. Dan seharusnya aku sudah mempersiapkan
hati untuk sebuah luka jika aku telah menerima hadirnya cinta.
Nyatanya, aku tak benar-benar siap
atas sebuah luka dan kecewa tersebab perpisahan.
***
Segala pesan dan teleponku dari
pagi tak ada satu pun yang terbalas. Sungguh, aku benci sebuah hari yang tanpa
kabar. Dan mengapa pria sungguh mudah hidup dengan mengabaikan sebuah kabar.
Tidakkah mereka sadar bahwa tengah ada hati resah yang mengkhawatirkannya?
Malam itu, hujan turun dengan
derasnya. Entah mengapa hati ini semakin resah. Seoalah ada banyak lalat-lalat
menyebalkan yang memenuhi pikiran. Kukirim kembali pesan kepadamu. Entah sudah
yang keberapa untuk hari ini. Tak perduli terjawab atau tidak, tetap
kukirimkan. Mungkin untuk yang terakhir di hari ini jika tak ada jawaban lagi.
"Di mana? Baik-baik saja,
kan? Hujan lebat, kuharap kamu nggak ke mana-mana. Aku mencemaskanmu."
Satu jam telah berlalu, tetap tak
ada jawaban. Ada apa dengannya? Apa salahku? Apa ia bosan dan lelah denganku
yang selalu menuntut kabar?
Aku sudah tidak peduli ia tak
mengingat hari kelahiranku. Aku tak lagi mengharap meski hanya sebuah ucapan.
Dua jam lagi hari akan berganti tanggal, dan hari kelahiranku sudah akan
berlalu. Aku tak peduli. Aku hanya peduli dengan keadaannya.
Yang kutahu pasti, aku sungguh mencemaskannya.
Sekalipun sempat terbersit masihkah
ia mencintaiku? Aku tetap
mencintainya dan semakin menyayanginya. Entah sudah berapa banyak air mata
tersebabnya, dan sudah berapa kecewa tercetak karenanya. Aku tetap
mencintainya.
Seperti malam ini, semisal. Hujan
lebat dengan gelegar riuh menemani kembali air mataku yang tumpah. Kali ini air
mata tersebab aku merindukannya sekaligus mencemaskannya. Entah, ketika rindu
menjalar dengan kurang ajarnya, namun yang dirindukan tak kunjung bisa
dihubungi, hanya air mata yang tebentuk. Seolah air mata pereda rindu. Bukan.
Bukan pereda. Mungkin tepatnya penyalur.
Dering handphone berbunyi. Sebuah
nama tecetak. Nama yang kunanti bersama air mata. Jelas lengkungan senyum
merekah seketika meski air mata masih turun bersaing dengan lebatnya hujan
malam ini.
Kau tahu, aku tak lagi berharap
sebuah ucapan 'selamat ulang tahun' lagi darimu. Hanya sebuah kabar, itu saja,
cukup. Tapi aku tak pernah berharap bahwa yang kudengar adalah suara lain dari
nomormu yang menghubungiku malam ini.
Dengan derasnya hujan malam ini,
suara itu bak petir yang menyambar dan menghancurkan setiap sendi pada tubuhku.
Melumpuhkan jiwa hingga nafas.
Kamu meninggalkanku. Pergi tanpa
pernah akan kembali. Di hari kelahiranku, kamu justru meninggalkanku. Sendiri.
Tanpa sebuah kabar, apalagi kata-kata perpisahan. Haruskah mulai detik ini aku
membenci hari kelahiranku?
Tetapi kamu meninggalkanku sebuah
peninggalan. Sebuah kotak yang telah lusuh dan basah akibat terjatuh dan
terkena hujan. Kotak berpita kuning yang berisi perlengkapan merajut dengan
sebuah kartu ucapan di dalamnya. 'Selamat
Ulang Tahun, Sayang.' Dengan
beberapa baris kata yang menyayat hati.
Ternyata kamu ingat. Aku pernah
berkata ingin belajar menyulam. Dan apakah kamu juga ingat bahwa aku berjanji
untuk membuatkanmu sebuah rajutan yang bisa menghangatkanmu. Sebuah syal.
Kamu pun ternyata tidak lupa hari
kelahiranku. Kamu hanya ingin memberiku sebuah kejutan. Tapi takdir tak
mengijinkan. Kini, aku kehilanganmu tanpa pernah bisa bertemu lagi denganmu.
Lantas, bagaimana aku harus membendung segala rindu padamu?
Hujan mempertemukan kita. Kenapa
hujan juga yang harus membuatmu meninggalkanku?
Aku benci ketika kita kalah oleh
hujan!
***
Aku masih di sini. Berdiri di bawah hujan berpayung kelam.
Menanti hal yang sebenarnya tak perlu dinanti. Menunggu kekosongan yang hanya
berisi lara.
Aku masih terus berlatih merajut, tapi tak pernah selesai.
Mungkin yang kurajut hanyalah hujan, sedang hujan tak pernah selesai...
Jakarta, 2015
@fetihabsari
3 komentar
kasihan sekali :'( . pelajaran buat cewek nih, jangan suka berprasangka buruk sama cowok, hahahaha
REPLYdi KKBI embus, bukan hembus
REPLYOwkeeyy, kakaak, siap catatt dan perbaiki...
REPLY