Rabu, 18 Mei 2016

pic by I Jakarta



9 dari Nadira
Leila S. Chudori
Gramedia, Jakarta

Di sebuah pagi yang murung, Nadira Suwandi menemukan ibunya tewas bunuh diri di atas lantai rumahnya. Kematian sang ibu, Kemala Yunus__yang dikenal sangat ekspresif, berpikiran bebas dan selalu bertarung mencari diri__sungguh mengejutkan.
Tewasnya Kemala kemudian mempengaruhi kehidupan Nadira sebagai seorang anak (Melukis Langit), seorang wartawan (Tasbih), seorang kekasih (Ciuman Terpanjang), seorang istri, hingga akhirnya membawa Nadira kepada sebuah penjelajahan ke dunia yang baru, dunia seksualitas yang tak pernah disentuhnya (Kirana).

***

Buku ini terdiri dari Sembilan cerita pendek yang ditulis Leila dalam waktu yang cukup panjang. Kesembilan cerita dalam buku ini pun tidak bisa dibilang cukup pendek. Kesembilan cerita ini mengisahkan kisah seorang tokoh bernama Nadira.
Nadira merupakan bungsu dari tiga bersaudara yang lahir di Amsterdam. Mereka lahir dari seorang ayah yang memiliki keluarga Sunda yang sangat religius, yang dekat dengan partai NU, dan seorang ibu dari keluarga sekuler yang bergaul dengan orang-orang PSI.
“Perkawinan di Indonesia adalah perkawinan dua keluarga, dua kultur, dua kebudayaan.” (Ciuman Terpanjang).
Terdapat beberapa sekelumit kisah hidup Nadira yang muram dan penuh drama. Kematian sang Ibu yang membuat dunianya berubah menjadi kelam dan hitam pekat. Seolah ia tubuh yang kehilanagan roh. Roh yang ikut serta bersama sang ibu meninggalkan kehidupan duniawi. Disamping itu, ia harus mengahadapi kenyataan lain, ayah yang mulai menua dan kesepian, perlakuan kakak perempuan, kasih sayang seorang abang, pekerjaan jurnalistik, kehidupan di kolong meja kerja, pernikahan, perceraian.
Seikat bunga seruni untuk pemakaman ibunya membuat Nadira mampu mengeluarkan air matanya. Membuat Nadira seolah masih hidup dan masih seorang makhluk hidup, semua itu berkat Tara. Utara Bayu.
Kisah dan kenyataan dalam cerita ini membuat saya berfikir ‘apakah kehidupan dan dunia sastrawan/seniman selalu berakhir seperti itu?’ yang membuat saya ragu seketika. Saya bukanlah Nadira yang hidup dalam dunia rekaan, namun nyatanya saya pun mendengar beberapa fakta yang nyaris sama.
Nama besar, wawasan luas, dan segudang prestasi membanggakan, semua itu ternyata hanyalah topeng untuk menutupi kebusukan dari sebuah nafsu, seks, perselingkuhan, dan pengkhianatan. Saya sadar, saya bukanlah Nadira yang tetap kuat dan tegar menjalani hidupnya yang muram dan penuh drama.
“Sebetulnya kita masih saling mencintai. Hanya kamu teralu mencintai dirimu, dan aku tak cukup untuk menampung egomu yang jauh lebih luas dari pada negeri ini.” (Kirana).
Kesembilan cerita pendek dalam buku ini saling berkaitan. Dengan tokoh-tokoh yang sama dan jalan cerita yang bersambung. Kesembilan cerita ini mirip sebuah novel yang hanya dibagi menjadi sembilan bab. Saya menyukai kesembilan cerita ini sekaligus. Bagi saya, buku ini adalah sebuah kesatuan yang dapat dinikmati sebagi kumpulan cerita maupun novel sekaligus.
Leila memang sanggup menghidupkan karakter-karakter di setiap tokohnya. Seperti dalam novelnya yang berjudul “PULANG”, saya sungguh jatuh cinta pada Sagara Alam, dan di dalam kisah ini saya diam-diam telah jatuh cinta pada Utara Bayu. Meski Tara bukanlah sosok utama yang selalu berperan, namun karakter yang dibangun sedikit demi sedikit mampu menggoyahkan hati untuk jatuh.
Saya rasa pilihan nama yang digunakan Leila dalam setiap kisahnya memang membawa aura tersendiri sehingga pembaca mudah jatuh hati dengan para tokohnya hanya dengan membaca namanya saja. Betapa magisnya sebuah nama dan betapa lihainya Leila mengolah sebuah cerita.
Sejauh ini, saya belum pernah dibuat kecewa atas karya-karya Leila yang pernah saya tandaskan. Saya membaca 9 dari Nadira ini melalui aplikasi yang perlahan juga membuat saya jatuh cinta atas kemajuan teknologi.
Terima kasih I Jakarta



@fetihabsari

Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates