Seruni Untuk Ibu
pic by I Jakarta |
9
dari Nadira
Leila
S. Chudori
Gramedia,
Jakarta
Di
sebuah pagi yang murung, Nadira Suwandi menemukan ibunya tewas bunuh diri di
atas lantai rumahnya. Kematian sang ibu, Kemala Yunus__yang dikenal
sangat ekspresif, berpikiran bebas dan selalu bertarung mencari diri__sungguh
mengejutkan.
Tewasnya
Kemala kemudian mempengaruhi kehidupan Nadira sebagai seorang anak (Melukis
Langit), seorang wartawan (Tasbih), seorang kekasih (Ciuman Terpanjang),
seorang istri, hingga akhirnya membawa Nadira kepada sebuah penjelajahan ke
dunia yang baru, dunia seksualitas yang tak pernah disentuhnya (Kirana).
***
Buku
ini terdiri dari Sembilan cerita pendek yang ditulis Leila dalam waktu yang
cukup panjang. Kesembilan cerita dalam buku ini pun tidak bisa dibilang cukup
pendek. Kesembilan cerita ini mengisahkan kisah seorang tokoh bernama Nadira.
Nadira
merupakan bungsu dari tiga bersaudara yang lahir di Amsterdam. Mereka lahir
dari seorang ayah yang memiliki keluarga Sunda yang sangat religius, yang dekat
dengan partai NU, dan seorang ibu dari keluarga sekuler yang bergaul dengan
orang-orang PSI.
“Perkawinan
di Indonesia adalah perkawinan dua keluarga, dua kultur, dua kebudayaan.”
(Ciuman Terpanjang).
Terdapat
beberapa sekelumit kisah hidup Nadira yang muram dan penuh drama. Kematian sang
Ibu yang membuat dunianya berubah menjadi kelam dan hitam pekat. Seolah ia
tubuh yang kehilanagan roh. Roh yang ikut serta bersama sang ibu meninggalkan
kehidupan duniawi. Disamping itu, ia harus mengahadapi kenyataan lain, ayah
yang mulai menua dan kesepian, perlakuan kakak perempuan, kasih sayang seorang
abang, pekerjaan jurnalistik, kehidupan di kolong meja kerja, pernikahan,
perceraian.
Seikat bunga seruni untuk pemakaman ibunya membuat Nadira mampu mengeluarkan air matanya. Membuat Nadira seolah masih hidup dan masih seorang makhluk hidup, semua itu berkat Tara. Utara Bayu.
Kisah
dan kenyataan dalam cerita ini membuat saya berfikir ‘apakah kehidupan dan
dunia sastrawan/seniman selalu berakhir seperti itu?’ yang membuat saya ragu
seketika. Saya bukanlah Nadira yang hidup dalam dunia rekaan, namun nyatanya
saya pun mendengar beberapa fakta yang nyaris sama.
Nama
besar, wawasan luas, dan segudang prestasi membanggakan, semua itu ternyata
hanyalah topeng untuk menutupi kebusukan dari sebuah nafsu, seks,
perselingkuhan, dan pengkhianatan. Saya sadar, saya bukanlah Nadira yang tetap
kuat dan tegar menjalani hidupnya yang muram dan penuh drama.
“Sebetulnya
kita masih saling mencintai. Hanya kamu teralu mencintai dirimu, dan aku tak
cukup untuk menampung egomu yang jauh lebih luas dari pada negeri ini.”
(Kirana).
Kesembilan
cerita pendek dalam buku ini saling berkaitan. Dengan tokoh-tokoh yang sama dan
jalan cerita yang bersambung. Kesembilan cerita ini mirip sebuah novel yang
hanya dibagi menjadi sembilan bab. Saya menyukai kesembilan cerita ini sekaligus. Bagi saya, buku ini adalah sebuah kesatuan yang dapat dinikmati sebagi kumpulan cerita maupun novel sekaligus.
Leila
memang sanggup menghidupkan karakter-karakter di setiap tokohnya. Seperti dalam
novelnya yang berjudul “PULANG”, saya sungguh jatuh cinta pada Sagara Alam, dan
di dalam kisah ini saya diam-diam telah jatuh cinta pada Utara Bayu. Meski Tara
bukanlah sosok utama yang selalu berperan, namun karakter yang dibangun sedikit
demi sedikit mampu menggoyahkan hati untuk jatuh.
Saya
rasa pilihan nama yang digunakan Leila dalam setiap kisahnya memang membawa
aura tersendiri sehingga pembaca mudah jatuh hati dengan para tokohnya hanya
dengan membaca namanya saja. Betapa magisnya sebuah nama dan betapa lihainya
Leila mengolah sebuah cerita.
Sejauh
ini, saya belum pernah dibuat kecewa atas karya-karya Leila yang pernah saya
tandaskan. Saya membaca 9 dari Nadira ini melalui aplikasi yang perlahan juga membuat saya jatuh cinta atas kemajuan teknologi.
Terima kasih I Jakarta |
@fetihabsari