Kamis, 21 Agustus 2014



Kita berdiskusi dalam ruang yang berbeda. Kita berdiskusi menebas jarak yang membentang. Kita memang belum bisa bersisian perihal raga. Namun yakinlah, kita tengah memandang senja yang sama dan kau tahu bahwa ada hati yang diam-diam saling mendekap, berdiskusi perihal masa depan. Di sini aku menikmati diskusi senja tanpamu perihal raga, pun sebaliknya. Menanti saat di mana kita akan bersisian, menikmati, dan berdiskusi perihal rindu-rindu yang beranak pinak. Akan ada saat-saat di mana kita melalui diskusi senja pada titik koordinat yang tepat sama.

***

Aku masih di sini. Terduduk di sebuah bangku kayu yang terletak di sudut lapangan sepak bola. Tempat ini belum berubah, Sayang. Letaknya masih di tengah kota. Tiap sudutnya tetap rindang oleh pepohonan. Di sisi barat tetap berjejer para pedagang jajanan. Dan lapangannya, masih tetap riuh oleh teriakan para bocah. Berpasang-pasang kaki berlari-lari kecil. Sebuah bola menggelinding melarikan diri dari kejaran. Semuanya masih sama, Sayang. Hanya satu yang berbeda. Kamu.
Sudah sampai di mana, kamu? Tiba di kota keberapakah, kamu? Lelahkah sudah kakimu melangkah? Keriuhan apa yang kau dapat? Hiruk pikuk kota seperti apa yang kau cari?
Sayang, pulanglah. Aku masih di sini. Terduduk di bawah senja. Meratap pada jingga yang perlahan berubah kelam. Memahat rindu-rindu yang menjalar tak karuan. Dan menyulam harap-harap yang tak tahu malu.
Tempat ini masih sama, Sayang. Senja ini pun masih sama. Hiruk pikuk nyinyiran robot berpolusi pun masih memekakkan telinga. Riuh riang para bocah yang menenangkan jiwa masih sama. Hanya satu yang berbeda. Kamu.
Kamu yang tak lagi mengomentari nyinyiran robot berpolusi. Kamu yang tak lagi memotret tawa riuh bocah-bocah di tengah lapangan. Kamu yang tak lagi khidmat memandang senja yang perlahan berubah pekat. Kamu yang tidak lagi duduk di sini. Di sampingku. Kamu telah pergi. Berkelana entah ke mana.
Apa yang sebenarnya tengah kau cari? Senja yang lebih indah di ujung dunia sana? Nyinyiran robot tanpa polusi yang lebih merdu? Hiruk yang lebih menenangkan jiwa? Dekapan atas setiap langkah yang menjejak? Atau justru, kesunyian yang memabukkan?
Pulanglah. Pulanglah, Sayang. Kita kembalikan sesuatu yang seperti dulu lagi. Kita akan berdiskusi senja dengan khidmat ditengah hiruk suasana kota. Kita akan menatap kembali senja pada titik koordinat yang tepat sama. Dan semuanya sempurna akan kembali sama seperti dulu. Dulu, ketika kau belum pergi dan tak kembali hingga detik ini.
Pulanglah. Pulanglah, sayang. Aku masih di sini. Dan tetap akan ada di sini meski hiruk tempat ini perlahan memudar. Aku masih akan tetap ada di sini. Menunggumu mengembalikan hiruk yang telah hilang itu. Sampai kamu kembali. Kembali ke tempat yang kau yakini sebagai rumahmu. Aku.



@fetihabsari

2 komentar

Udah, gak ngerti komen gimana, bawaannya pasti gini ---> :')

REPLY

Kenapa bawaannya gini → :') ??

REPLY

Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates