Kamisan #4 HALUSINASI; Pria Halusinasi
Terdengar
suara ketukan di pintu depan ketika aku tengah asyik menonton film dari
laptopku di kamar. Kulirik jam dinding berbentuk babi dengan hidung berwarna
pink yang tampak mendominasi penglihatan itu. Pukul tujuh. Siapa yang bertamu
jam segini? Lagi pula mama dan papa kan sedang tidak di rumah. Aku bermonolog
sendiri dalam hati. Tanpa menyelesaikan monologku, aku melangkah tanpa ragu
menuju pintu depan dan membukanya.
“Kamu?!”
pekikku bahagia tak percaya. Tanpa basa-basi aku langsung memelukmu erat. Dan tubuh
bidangmu membalas pelukanku dengan hangat. Membenamkan tubuh kecilku dalam
pelukanmu. Jemarimu membelai tiap helai rambutku yang selalu kubiarkan terurai sambil sesekali
mengecup ubun-ubunku.
“Hei,
kamu excited sekali,” ucapmu dengan senyuman mengembang yang selalu membuatku
ingin merengkuh wajahmu dan mengecupnya.
“Aku
kan kangen! Nggak tahu apa kalau kangennya pake banget!” rengekku manja dan masih dalam pelukanmu.
“Iyakah?”
tanyamu menggoda.
“Iiihh,,
nyebelin!” pekikku sambil mencubit perutmu__hal yang paling kusukai__sebelum
akhirnya aku bergelendot manja dalam pelukanmu. Jika kamu sudah merasa menyerah
dan kegelian otomatis kamu akan menghentikan tingkahku dengan mendekapku dalam
pelukanmu. Kemudian kami akan tertawa bersama. “Yuk, masuk.” Aku mengajaknya
masuk ke ruang tengah.
“Kok
sepi?” tanyamu heran.
“Iya. Semua pergi ke Bandung,” ucapku sembari menyalakan televisi. “Sebentar ya
aku ambil minuman dulu.” Aku meninggalkanmu dan melangkah ke dapur. Aku hapal
minuman yang selalu kamu inginkan. Orange sirup takaran tiga sendok makan dengan segelas air dingin berukuran 250ml dan tambahan lima balok kecil
es batu. Aku pernah bertanya mengapa harus tiga sendok, mengapa harus 250
ml, dan mengapa harus lima balok kecil es batu. Jawabannya selalu sama. Kamu
hanya tersenyum dan berkata ‘rahasia’. Sialnya, aku selalu tak berkutik jika
kamu sudah tersenyum dan menerima apa pun yang kamu katakan.
“Kok
kamu nggak ikut ke Bandung?” tanyamu ketika aku kembali dengan dua gelas orange
sirup kesukaanmu.
“Nggak.
Kalau aku ikut, aku membuang kesempatan untuk ketemu kamu.”
“Aku
kan nggak bilang kalau mau datang malam ini.”
“Memang.
tapi feelingku bilang kalau kamu akan datang malam ini. Kenapa kamu baru datang
lagi?” Aku duduk di sampingnya dan mendengus.
“Maaf.”
Hanya itu yang keluar dari mulutmu. Dan, lagi-lagi, aku bagai terhipnotis
menerima segala makna dari setiap jawaban singkatmu.
“Aku
kangen.” Aku bersandar pada dadamu yang bidang. Tempat yang selalu kuinginkan
untuk terlelap bermain bersama mimpi.
Kamu
hanya tersenyum sembari membelai lembut rambutku dan sesekali mengecup
kepalaku. Hanya itu hal yang selalu kamu lakukan. Dan aku selalu nyaman dengan segala perlakuanmu.
Aku
tak akan pernah bosan. Tak akan pernah bosan berdiam dalam dekapanmu. Tak akan
pernah lelah mengerti segala diam dan cuekmu. Aku hanya bisa merutuk waktu jika
ia seoalah tak pernah berpihak padaku. Waktu selalu tak mau bertoleransi padaku.
Berhenti berdetik detik ini juga misalnya. Waktu justru berputar semakin cepat
dan mengharapkan segera perpisahanku denganmu. Benarkah perasaanku itu? Entahlah.
Yang pasti, jika ada yang harus disalahkan, aku masih akan terus merutuk waktu.
“Sudah
jam sepuluh, aku harus pulang,” katamu.
Tuh,
kan. Baru saja aku memeluknya beberapa menit yang lalu, tetapi kenapa waktu
sudah berputar berjam-jam. “Sebentar lagi,” rengekku tanpa melepaskan
pelukannya.
“Sudah
malam. Nggak enak sama tetangga. Lagipula kamu juga butuh istirahat.”
“Tapi
aku masih kangen.” entahlah, ini sudah rengekan keberapa yang keluar dari
mulutku.
“Besok
aku kembali lagi, ya.” Kamu membujukku dan melepaskan pelukanku.
“Bohong!
Setelah ini pasti kamu akan menghilang tanpa kabar lagi! Kamu tega membuatku
hampir mati karena rindu?” ucapku dengan penuh emosional.
Kamu malah terbahak mendengar perkataanku yang terdengar berlebihan itu. “Lantas apa yang bisa membuatmu percaya?”
Aku
hanya membisu dan menatap dalam matamu, tenggelam dalam keteduhan yang tanpa
sadar membuat bulir bening rembes dari kelenjar air mataku.
“Hei,
kenapa kamu menangis?” Raut wajahmu berubah menjadi khawatir. Jemarimu dengan
sigap menghapus setiap bulir yang jatuh di pipiku. “Apakah aku menyakitimu? tanyamu.
Aku
menggeleng.
“Lantas?”
“Aku
menyayangimu. Sangat menyayangimu," ucapku lirih.
“Lantas
mengapa kamu menangis?”
“Aku
menangis, sebab aku merasa bahwa kita tidak pernah ditakdirkan untuk bersama.”
“Aku
menyayangimu.” Kamu menarikku ke dalam pelukanmu. Erat. Hangat. Damai.
Bukannya
mereda, air mataku malah semakin deras. Tak ada suara tangis yang menggema.
Hanya isakan yang semakin lama semakin berat. Kamu mulai melepaskan pelukanmu.
“Kumohon
jangan menangis. Aku tidak ingin kamu sakit.” Kamu memohon.
Aku
membisu. Air mata tak bisa lagi kubendung. Aku ingin menumpahkan segala rasaku
padamu yang terpendam di dalam sini. Di hati. Tanpa kuduga, kamu merengkuh
wajahku, dan perlahan melumat habis setiap kata dengan bibir lembutmu. Bukannya
menolak dan menghindar, aku justru menerima dan membalasnya dengan segala rasa.
Entah,
rasa apa ini. Seperti ada listrik jutaan volt yang menyengat tubuhku. Bukan
sakit yang kurasakan. Bukan. Justru rasa rileks yang membuatku lepas dari
segalanya. Aku menikmatinya. Menikmati setiap kecupan yang berkali-kali kamu
lumatkan habis pada bibirku yang mulai kembali hidup.
Selesai.
Kamu selesai membuatku kembali hidup dengan menyuntikkan berjuta-juta endorphin
dari bibirmu itu. “Aku menyayangimu. Apa kau percaya itu?” tanyanya kemudian.
Aku
membisu. Tak bisa berucap. Badai masih bergemuruh dalam dada. Kecupanmu ibarat
morfin yang seketika membuatku sakau. Aku merengkuh wajahmu dan melumat
bibirmu. “Aku menyayangimu,” ucapku lirih tanpa melepaskan lumatan morfinku ini.
Kamu
membiarkanku sampai aku selesai mengobati sakauku. Setelahnya kamu menarikku
dalam dekapanmu dan membiarkan aku tertidur di dalamnya.
“Tidurlah.
Aku akan menemanimu malam ini.”
***
“Anila!”
suara teriakan yang begitu kukenal telah membuyarkan tidur lelapku yang paling
damai yang pernah kurasakan selama dua puluh dua tahun ini.
Aku
membuka mata perlahan. “Apa sih, Ma?”
“Itu
pintu depan dari kapan nggak kamu tutup? Ceroboh banget sih, kalau ada maling
masuk bagaimana?”
“Hah?!”
aku langsung tersadar detik itu juga. Aku menoleh ke sana ke mari. Bingung.
“Kamu
cari apa? ada yang hilang?” tanya mama.
“Dia.
Semalam dia datang ke sini, ia menemaniku, lalu aku tertidur. Di mana dia?”
kataku kacau.
“Dia?
Dia siapa? Pasti pria halusinasimu lagi!” Mama mendengus kesal.
“Bukan.
Dia bukan halusinasiku. Jelas-jelas semalaman ia menemaniku.”
“Kalau
memang benar dia ada, kenapa selama ini kamu tidak pernah mempertemukannya
dengan kami, dan selalu saja tiba-tiba menghilang misterius?”
“Ma,,,”
“Sudahlah.
Jadi kapan kamu mau ikut mama ke psikiater?”
“Aku
tidak sakit, Ma!” pekikku keras. Aku langsung berlari masuk ke kamar dan
membanting pintu kamar.
Aku
tidak berhalusinasi. Jelas tidak! Masih kurasakan bekas air mata yang sudah
mengering dari semalam di pipiku. Masih kurasakan hangat dekap pelukmu. Dan
masih membekas lumatan bibirmu semalam. Kembali, bulir bening tak hentinya
mengalir.
“Jangan
menangis. Kumohon," katamu yang tengah duduk di sofa kecil berbentuk babi kesukaanku yang terletak
di sudut dekat jendela kamarku. Dengan raut wajah menyiratkan bahwa semua akan
baik-baik saja, kamu kembali berkata, “aku menyayangimu.”
@fetihabsari
2 komentar
Wow. speclessss :)
REPLYhalusinasinya nakal XD
REPLY