Selasa, 13 November 2018

pic by link


“Kamu pernah makan rawon?”

“Apa itu rawon?”

Kemudian ia melaju motornya dengan ringan. Menimbulkan hembusan-hembusan kecil angin yang memainkan tiap helai rambutku yang tidak terlindungi helm. Ia mengendarai motornya dengan perlahan dan hati-hati untuk memastikan bahwa aku akan selalu baik-baik saja saat bersamanya.

“Ini yang namanya rawon,” ujarnya saat dua porsi rawon yang ia pesan ketika kami telah tiba di sebuah warung makan yang cukup sederhana namun ramai pengunjung ini terhidang.

“Iih, warnanya kok hitam gitu? Agak gimana gitu ya mau makannya.”

“Jangan lihat dari tampilannya, kalau sudah sekali coba dijamin kamu ketagihan sama rasanya.”

Aku mencicip dengan ragu sedikit kuah berwarna hitam dengan aroma aneka rempah yang menyeruak ke dalam indera penciumanku. Lidahku mulai merasa kuah hitam itu dan melalui kerongkongan. 

“Enak,” seruku dengan wajah berbinar.

Itulah awal mula perkenalanku dengan rawon yang pada akhirnya menjadi makanan favoritku. Sebenarnya bukan murni karena rasanya, tetapi karena siapa yang mengajakku mencicip rawon. Pria itu, yang sangan menyukai rawon dan memasukkannya ke dalam daftar makanan favoritnya. 

Tidak selamanya hitam itu gelap. Dan pekat itu muram. Serupa Rawon yang berkuah hitam dengan rasa super istimewa. Hitam pekatnya kuah bukan berarti rasa yang pahit dan tidak enak, namun sebaliknya. Makanan asal Jawa Timur ini kini nggak hanya eksis di kota asalnya, tetapi juga di berbagai kota dengan berbagai variasinya yang berkembang.

Aku telah terbiasa dengan makanan berkuah hitam itu. Aku bahkan terbiasa membuat dapur ibu berantakan untuk selalu berusaha menciptakan rawon yang lezat untuk priaku itu. Puluhan kali gagal, hingga akhirnya aku menemukan cita rasa yang pas dan dengan yakin priaku akan menyukainya. Kukemas dalam kotak makan penghangat agar rasanya tetap terjaga dalam kehangatan.

Aku tiba di rumah kosnya yang sepi dan tak banyak kegiatan. Kala itu hujan tengah jatuh tanpa ragu. Langit juga pekat. Saat yang tepat untuk menikmati rawon yang hangat, pikirku. Pintu kamar tertutup, ada sepasang sepatu perempuan di depannya. Aku terhenti dan mematung. Mendengar apa yang terjadi di dalamnya.

Kuputuskan untuk menaruh kotak makanan berisi rawon itu di depan pintu dan pergi menjauh. Tidak ingin mendengar lebih lanjut apa yang terjadi. Tidak ingin berada di bawah terangnya lampu lorong ruangan.

Mungkin di bawah pekatnya langit lebih baik. Dan di tengah guyuran hujan lebih baik untuk bersembunyi. Menyembunyikan sesuatu yang patah dan merembes. Ternyata priaku telah mengenalkanku pada sesuatu yang hitam dan pekat agar aku bisa terbiasa dengan itu saat harus mengalaminya sendiri. Aku tahu. Aku akan tetap menyukai rawon, tetapi bukan lagi karenanya, tetapi rasanya. Rasa yang memang tidak tampak seperti kelihatannya. 

Terkadang cinta mengajarkan, kita bisa terjebak dalam cerah dan terbebas dalam pekat. Bukankah apa yang kita lihat tidak selalu seindah yang terlihat?


Bekasi, 13 November 2018

Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates