Selasa, 13 November 2018




Ada yang lebih galau dari hati, lebih kacau dari perasaan. Logika yang tak tentu arah dan mati saat bertemu rasa bernama cinta. Percayalah, cinta tidak  sesederhana pernyataan ‘aku suka kamu’ atau ‘aku cinta kamu’. Cinta tidak semudah makan bareng atau sekadar tertawa bersama. Siapa yang pernah merasakannya dan berhasil melaluinya pasti pada akhirrnya ia akan terbahak-bahak dan menjadikan cinta yang rumit itu sebagai lelucon klasik.

Cinta selalu berkelakar tentang kebahagiaan, tetapi ia lupa jika hidup juga selalu tentang keserasian yang saling berdampingan. Saat ada kebahagiaan, maka sisi lainnya yang selalu dilupakan itu juga akan ada. Kesedihan.

“Kamu kenapa?”

“Nggak apa-apa. Memangnya kenapa?”

“Status dan tulisan-tulisan di sosmedmu kok galau terus.”

“Memangnya kalau aku tulis galau itu artinya aku lagi galau?”

“Ya nggak tahu. Tapi orang pasti berfikir kayak gitu. Kamu galau terus. Dan aku, sebagai kekasihmu pasti yang akan tertuduh penyebab galau dan sedihmu yang berkepanjangan itu.”

Sang perempuan tidak pernah menyangka bahwa laki-laki super idealis yang sungguh ia kagumi dapat berpikir sedangkal itu. Semenyedihkan itu. Ia yang berpikir bahwa akan hidup serasi selamanya bersama laki-laki dengan pandangan dan gagasan yang selalu menurutnya indah ternyata patut dipertanyakan lagi.

Bukankah dia seharusnya tahu genre apa yang selalu kutulis. Dan bukankah ia paham bahwa apa yang dituangkan tidak selalu perihal diri kita. Bahwa ide-ide bisa muncul dari mana saja. Bahwa passion harus bisa terus dipertahankan dan dikembangkan. Hal itu yang ia ajarkan kepadaku. Sebuah pemikiran maju nan idealis yang memang kuakui, aku beruntung memilikinya. 

“Jadi kamu merasa menjadi korban atas apa yang aku tulis?” 

“Entahlah. Apa kamu bisa berfikir dulu sebelum menulis?”

“Maksudmu apa?”

“Mungkin jika kamu terus bersamaku, kamu akan terus sedih dan tidak bahagia seperti ini. Cinta itu harusnya bahagia. Kalau sedih, buat apa?”

“Aku bahagia bersamamu. Tapi bukankah cinta juga nggak melulu soal bahagia? Sama seperti hidup. Akan ada ujiannya yang buat kita naik kelas dan lebih hebat.”

“Apa kamu bahagia bersamaku?”

“Ya. Kamu bagaimana?”

“Entahlah.”

“Apa itu artinya kamu yang tidak bahagia?”

Laki-lakinya diam. Sang perempuan juga diam. Mereka membisu. Sibuk dengan pikiran masing-masing atau bahkan perasaan sendiri-sendiri. Jika suara terkecil pun bisa terdengar, mungkin hanya suara gemertak hati yang mulai retak dan derap logika yang mulai berlarian.

“Baik. Apakah yang kamu inginkan adalah dengan kita berpisah?” perempuan itu memecah kebisuan.

“Jika kita harus berpisah, aku ingin itu keputusan dari kita berdua.”

“Oke. Jadi bagaimana sebaiknya?”

“Kamu setuju?”

“Kalau itu bisa membuatmu bahagia dan terbebas dari tuduhan-tuduhan yang kamu khawatirkan itu, aku bisa apa.”

“Kamu baik-baik saja?”

“Apakah ada yang baik-baik saja dalam sebuah perpisahan?”

“Mungkin kita akan lebih baik jika menjadi teman. Atau kakak-adik.”

“Ya, mungkin. Dan satu hal yang ingin kuperjelas di sini. Semoga kamu mengerti perihal tulisan-tulisan galauku yang nggak melulu itu menggambarkan kalau aku sedang galau atau sedih. Begitu juga dengan yang pernah kamu ungkapkan. Bahwa move on nggak melulu harus selalu sudah dapat pasangan baru. Itu lebih kepada diri sendiri dan hanya kita yang paham bagaimana diri kita.”

Laki-lakinya terdiam. Dengan raut wajah tanpa ekspresi dan tatapan kosong, ia masih membisu. Masih sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Mungkin. Sedangkan sang perempuan tengah berusaha terlihat tegar. Mencoba menerima bahwa laki-laki idealis yang dikaguminya tak lagi miliknya. Mengikhlaskan hatinya yang selama ini selalu berusaha mengerti laki-laki yang dianggapnya hebat, untuk ditata kembali.

Galau. Sebuah awal dimulainya perbincangan yang menjadi alibi sebuah ketidakbahagiaan. Galau. Mungkin kini ia tengah benar-benar berada di fase itu. Bukan lagi sekadar tulisan, tetapi juga terjadi benar dalam hidupnya. Mencintai atau melepaskan, keduanya memiliki kepedihan yang sama. Terlebih saat mempertahankan apa yang tidak mempertahankanmu kembali.

“Semoga kamu bahagia,” ucap sang perempuan sembari tersenyum dan melangkah pergi.

Ada yang sedang ia pertahankan untuk tidak terlihat. Air mata.



Jakarta, 13 November 2018

Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates