Travelmount; Papandayan
Sebuah catatan perjalanan yang telat untuk diposting.
Naik gunung kali ini semacam
merayakan sebuah kasus patah hati. Tampaknya cara yang cukup ampuh untuk
sedikit melupakan sebuah luka dan hati yang patah. Ada fisik dan emosi yang
dilatih sabar. Ada udara yang membawa kembali oksigen segar ke dalam paru-paru.
Gunung tanpa polusi udara, langit bertabur bintang, suhu dingin yang membuat
lupa bahwa hati tengah membeku, teman-teman baru seperjuangan dalam naik gunung,
bukan patah hati.
Liburan yang diputuskan ke
Papandayan ini sebenarnya sudah direncanakan jauh hari sebelum terjadinya kasus
patah hati, namun ternyata takdir memang telah menggariskan bahwa naik gunung
kali ini adalah semacam pengingat bahwa saya kuat meski sedang patah hati.
Beberapa hari sebelum keberangkatan ke Papadayan ternyata hati saya telah dibuat
luka, patah tak bersisa.
Meeting point kami adalah di
terminal Kampung Rambutan pukul 20.00 pada hari jumat. Saya hanya mengenal Ilmi
dan Fardhi saat itu. Ilmi adalah teman sekolah yang mengajak saya untuk
bergabung ikut naik ke Papandayan. Fardhi adalah teman komunitas yang saya ajak
ikut serta. Dan beberapa lainnya adalah teman-teman Ilmi yang sudah sangat ahli
dalam menaklukkan gunung. Ya, mereka adalah anak-anak pecinta alam dan sudah
biasa naik turun gunung.
Kami baru meninggalkan terminal
Kampung Rambutan hampir tengah malam menggunakan angkot yang telah kami sewa.
Total ada dua angkot. Sepanjang perjalanan saya tidur dan cukup pulas walau di
dalam angkot dan bersandar pada Ilmi. Habisnya nggak ada kekasih yang bisa
dibuat bersandar. Lha wong baru patah
hatinya.
Sebelum subuh (saya lupa tepatnya
pukul berapa) kami sampai di Garut. Di depan sebuah pom bensin. Kami harus
berganti pick up untuk menuju pos
pendakian. Naik pick up rame-rame
dengan langit yang masih gelap dan suhu yang dingin itu seru. Jalan yang
dilalui pick up sangat cukup untuk
mengguncang seluruh isi pick up dan
membuat pinggang sakit karena terbentur sisi pick up. Sepanjang perjalanan dengan mata saya tak pernah lepas
dari memandang langit. Hal ini yang selalu membuat rindu pada gunung. Ribuan
bintang bersinar dengan cantiknya di atas sana, di langit gelap. Seolah mereka
tengah tersenyum dan membisikkan sebuah kata-kata motivasi pada saya. Hanya ada
lengkungan senyum dan mata yang tak lepas dari menatap langit saat itu.
Tiba di pos pendakian, langit sudah
terang dan kami menurunkan carriel
dari pick up. Ada warung dan toilet.
Kami manfaatkan sebaik-baiknya sebelum tracking
ke atas nanti. Ke toilet dan sekedar sarapan kecil. Pukul 08.00 kami mulai tracking.
Sebelum naik bareng Ilmi |
Tracking hingga Pondok Saladah tidak
memakan waktu yang lama. Papandayan adalah gunung yang tidak terlalu tinggi dan
cocok bagi para pemula atau bagi yang ingin sekedar camping ceria. Sekitar
pukul sebelas siang lewat kami sudah tiba di Pondok Saladah dan siap mendirikan
tenda untuk nge-camp malam ini.
Sepanjang tracking cuaca cukup
bersahabat. Tidak hujan dan juga tidak terik.
Setelah para pria mendirikan tenda,
kami sholat dzuhur. Walaupun sudah sampai gunung, sholat jangan dilupakan loh
ya. Kami mulai sibuk masak memasak untuk makan siang. Saya hanya nontonin saja.
Sudah terlalu banyak tangan yang sibuk, kalau saya ikutan (sok) sibuk, nanti
makan siangnya nggak jadi-jadi lagi. Setelah semua selesai kami makan bersama
di atas plastik bersih besar. Sungguh ceria dan menyenangkan sekali.
Kekeluargaan dan kebersamaan.
Setelah makan siang, langit mulai
gerimis manja. Kami memutuskan untuk tidur siang di dalam tenda. Bobok siang di
gunung itu nikmat. Sore hari, setelah sholat ashar kami masak-masak lagi, tapi
masak mie dan seduh kopi. Sampai magrib langit masih gerimis. Kami membuat api
unggun dan hanya bertahan sebentar. Akhirnya malam dihabiskan dengan
ngobrol-ngobrol di antara tenda-tenda yang diberi terpal.
Keesokan paginya kami melanjutkan tracking ke Tegal Alun untuk melihat sunrise dan padang edelweis. Langit
sedang tidak bersahabat, jadi sunrisenya
nggak sempurna. Untuk sampai ke Tegal Alun kami melewati semacam rawa-rawa yang
becek, hutan mati yang cantik, dan jalur tracking
yang cukup terjal dibanding jalur tracking
yang kemarin. Nggak sampai sejam kami sudah tiba di Tegal Alun.
Cantik. Itu satu kata yang langsung
tercipta saat saya melihat hamparan edelweis dengan langit yang biru cerah.
Ternyata di atas sini sudah banyak yang berfoto-foto, ada juga yang menggunakan
seragam wisuda dan berfoto di sana. Tegal Alun dan hutan mati cocok untuk
lokasi prewedd. Lupa deh sama hati
yang patah.
kurapala |
Puas foto-foto dan mengagumi
keindahan ciptaan Allah, kami turun ke Pondok Saladah. Eitss, jangan memetik edelweisnya yaa. Sampai di Pondok Saladah,
kami masak-masak dan makan seperti kemarin dan kemudian bersiap packing untuk turun dan pulang.
Perjalanan turun ke bawah diantar
oleh hujan yang cukup lebat. Jalanan menjadi licin dan agak berat. Sungai yang
harus kita lalui pun meluap dengan arus yang deras. Beruntung saya pergi
bersama rombongan yang sudah ahli. Mereka mengambil batang pohon yang cukup
kuat untuk pegangan sewaktu menyebrang dan saling menolong. Gas belerang dari
kawah pun semakin terasa menyengat karena hujan. Dan akhirnya kami sampai di
pos pendakian.
Lanjut kembali ke tempat angkot
yang kami sewa menggunakan pick up. Sore
hari kami mulai berangkat pulang menuju Jakarta. Dibagi menjadi dua rombongan;
Jakarta dan Bekasi. Pada saat perjalanan pulang inilah terjadi sebuah kejadian
yang cukup dramatis.
Mobil sudah melaju mulus di jalan tol
dan langit pun sudah gelap, namun tiba-tiba angkot yang mengantar rombongan ke
Jakarta mogok dan sama sekali nggak bisa jalan. Akhirnya angkot rombongan
Bekasi yang masih ada di belakang pun menyusul dan menarik angkot yang mogok
keluar tol. Kami mendapat kabar bahwa harus menunggu mobil pengganti karena
mobil yang mogok sudah benar-benar tidak bisa jalan.
Kami memperkirakan bahwa sebelum
jam 12 malam sudah tiba di Jakarta, namun hingga pukul 12 malam pun mobil
pengganti belum juga tiba. Ngantuk, lelah, dan lapar. Beruntung ada satu warung
yang masih buka. Kami mampir dan memesan indomie serta minuman hangat. Berhubung
sang pemilik mobil merasa tidak enak dengan kami, beliau pun membayar semua
makan dan minum kami kepada pemilik warung meski sudah kami cegah.
Tak lama setelah makan, mobil
pengganti pun tiba dan kami langsung melanjutkan perjalanan. Perjalanan pun
teryata belum bisa dibilang mulus. Mobil melaju cepat di jalan berkelok yang
gelap dengan bagian kiri jurang, tiba-tiba mobil melesat dan hampir tergelincir
terguling ke jurang. Panik. Tetapi setelah kejadian itu perjalanan selamat
sampai Jakarta.
Pukul 05.00 tiba di terminal
Kampung Rambutan. Setelah pamitan dengan yang lain, saya dan Ilmi pulang ke
rumah dengan menggunakan taksi. Sesampainya di rumah, saya harus sudah bersiap
lagi untuk berangkat ke kantor. Capek? Lelah? Nggak. Sebab ada yang lebih
lelah. Hati.