Kamisan S3 #12; Senja Untuk Andini
Langit
masih murung. Matahari masih sedih. Tanah masih basah tergenang. Aku masih
dingin, menggigil dan hampir beku. Pada cangkir putih yang menyeruakkan harum
kafein, kusesap harum kehangatan yang tertinggal.
***
Senja
memiliki banyak cerita dan beragam kisah. Perihal jatuh cinta, juga patah hati.
Perihal pertemuan, perpisahan serta kehilangan. Senja mengajarinya cara
bertahan. Bertahan meski perlahan tempatnya akan tersingkir. Bertahan meski
tahu, ia akan terganti. Bertahan meski sadar, ia akan ditinggalkan.
Pada
suatu senja, Andini bertemu dengan seseorang yang menjadi kekasih pertamanya. Meski
bukan cinta pertama, ia adalah kekasih pertamanya. Sebab cinta pertamanya tidak
pernah menjadi kekasihnya. Cinta pertamanya hanyalah cinta yang diam-diam ia
rawat hingga akhirnya layu oleh waktu.
Kekasih
pertamanya yang memberikannya sekotak senja. Membungkusnya dengan kata-kata
cantik. Merangkainya dengan syair-syair indah. Senja untuk Andini. Senja yang
lebih cerah menghias langit ibukota. Senja yang lebih tabah mengawasi hiruk
pikuk kemacetan jalanan ibu kota.
Saat
senja merunduk menyapa isi ruang berisi wajah-wajah lelah melalui celah jendela,
satu persatu manusia mulai mengemas barang. Bergegas melangkah meninggalkan
kubikel masing-masing. Sementra Andini justru terpaku pada kubikelnya yang
menghadap kaca, menghamparkan langit dengan semburat senja. Andini akan dengan
sabar menunggui senja hingga tenggelam, menyaksikan langit berganti gelap. Begitu
setiap hari. Semenjak ia mendapatkan sekotak senja dari kekasih pertamanya.
‘Senja hanyalah cara waktu menguji,
seberapa tabah engkau mencintai.’*
Mungkin.
Tabah dalam mencintai pertemuan, perpisahan, dan juga kehilangan. Andini tahu
benar bahwa ia harus mulai tabah perihal mencintai perpisahan sekaligus
kehilangan. Senja mengajarinya menampung air mata yang rela jatuh demi seseorang yang dicintainya.
‘Jatuh cintalah seperti air mata,
yang rela jatuh demi seseorang yang dicintainya.’*
Andini
mencintai kekasih pertamanya melebihi ia mencintai cinta pertamanya. Ia lebih
mengagumi kekasih pertamanya melebihi ia mengagumi senja-senja yang selama ini
menemaninya. Ada ciuman pertama yang membekas. Dekapan yang selalu hangat.
Hanya milik kekasih pertamanya. Bukan milik cinta pertamanya.
Kata
orang, cinta pertama adalah yang paling membekas dan sulit dilupakan, tetapi
tidak untuk Andini. Baginya, yang paling membekas dan sulit dilupakan adalah
kekasih pertamanya.
Seperti
saat ini. Ia rela menunggu, sabar menanti hingga senja berganti, hingga senja
meredup. Hingga ia telah kenyang perihal menunggu. Telinganya telah kebal
dengan kata sabar. Dan hatinya mulai beku tentang arti pengertian.
Nyatanya
kekasih pertamanya sudah tak menginginkannya lagi. Nyatanya Andini harus
belajar mengerti bahwa ia bukan lagi yang diinginkan oleh kekasih pertamanya.
Andini sadar. Ia tahu itu. Tetapi ia keras kepala. Ia tetap mengerti dan
mematuhi kekasih pertamanya untuk tetap sabar dan menunggu. Berharap kekasih
pertamanya mencintainya lagi seperti di awal. Meski Andini tahu bahwa kekasih
pertamanya tak akan lagi menemuinya.
Senja
sudah beranjak dan pulang. Sementara Andini masih sabar menunggu di sini. Di
balik kubikel yang menghamparkan langit hitam dan jalanan ibukota yang mulai
lengang. Malam mulai merayap. Tak ada lagi senja, apalagi kekasih pertamanya.
Entah
pada senja keberapa akhirnya Andini bangkit. Memutuskan meninggalkan tempat itu.
Meninggalkan senja yang katanya tengah menguji ketabahannya dalam mencintai.
Nyatanya senja juga tengah menguji ketabahannya perihal kehilangan. Ia harus
tabah mencintai kehilangan. Mungkin semua hanyalah cara kekasih pertamanya
menghindar dari cinta yang rumit dan merepotkan.
Andini
tahu, ia bukan sedang diuji, tetapi ia sedang ditinggalkan.
Bukan
persoal waktu yang kembali melayukan cintanya, tetapi kekasih pertamanyalah
yang ingin mengajarinya hal baru. Perihal perpisahan dan kehilangan.
‘Nikmatilah
kehilangan ini, sayang. Ceritakan pada senja yang menguji ketabahanmu dalam
mencintai. Sebab senja pula yang menguji ketabahanmu perihal kehilangan.’ Ada
seseuatu yang berbisik, mengantarkan Andini meninggalkan ruangan berisi kubikel kosong di lantai limabelas.
*kutipan dari kumpulan cerpen ‘Cerita
Buat Para Kekasih’ – Agus Noor