Kamis, 26 Juni 2014


"Pesan martabak telur spesialnya satu ya," kataku kepada tukang martabak yang sudah tak lagi muda itu. Tangan yang sudah mulai berkeriput itu begitu piawai mengolah adonan martabak, membanting-banting adonan kulit martabak, mengocok, menuang, hingga menggorengnya.

Kemudian aku mencari bangku dan menarik satu bangku plastik berwarna merah dan meletakkannya menghadap jalanan. Seperti biasa, warung martabak kaki lima ini selalu ramai oleh pembeli setiap malamnya. Seperti malam ini, entah aku ada diurutan keberapa. Tak masalah bagiku untuk menunggu pesananku selesai, sebab aku sudah terbiasa menunggu, bahkan untuk hal yang tak pasti sekali pun. Aku duduk dan memandangi jalanan yang masih ramai dengan berbagai macam kendaraan itu dengan tatapan kosong.
***

"Kamu ada acara apa nanti malam?" tanya pria di sebrang telepon.
"Nggak ke mana-mana. Kenapa?"
"Nanti malam aku jemput ya."
"Okey."
Kemudian Sambungan telepon terputus. Aku tersenyum bahagia. Kamu akan menjemputku nanti malam. Aku sungguh merindukanmu. Sudah hampir tiga pekan kita tidak bertemu. Jangankan untuk bertemu, berkomunikasi pun tidak. Dan siang ini, kali pertama kamu menelponku kembali setelah tiga pekan yang lalu. Aku yakin kamu pun merindukanku sama seperti aku yang merindukanmu.

Kamu menjemputku tepat pukul tujuh malam. Aku naik ke motormu yang berwarna merah itu. Aku mengaitkan kedua tanganku pada pinggangmu. Aku memelukmu erat dari belakang. Aku begitu merindukanmu. Sejak awal kamu menjemputku, kita belum membuka obrolan sama sekali. Seperti biasa, aku tak pernah rewel bertanya 'kita akan ke mana', 'kita mau ngapain', 'kenapa harus ke sana', dan pertannyaan rewel lain yang biasa perempuan tanyakan kepada lelakinya.

Kamu menghentikan motor di sebuah warung martabak kaki lima di pinggir jalan. Warung martabak kaki lima yang terletak di jalan sabang ini adalah warung martabak langganan kita. Aku mengendurkan pelukanku dan turun dari motor, mengikuti langkahmu masuk untuk memesan martabak.

“Martabak telur spesialnya satu,” ucapmu kepada tukang martabak itu. Kenapa harus martabak telur? Entahlah, kita memiliki kesamaan, sama-sama menyukai martabak telur. Dan setelah pesanan siap, kita pasti akan langsung menuju taman kota untuk menikmatinya. Berdua.

Kemudian kita duduk menunggu pesanan. Diam. Kami masih terdiam dan aku hanya memandangi wajahmu dalam diam. Sedangkan kamu hanya terus sibuk dengan handphone. Entah apa yang tengah kamu lakukan. Aku merasakan hal yang berbeda. Kamu berubah. Apa karena kehadiran kita yang sudah mulai jarang ini membuatmu beda di mataku? Ah, semoga saja hanya kehadiran dan bukan hal lain.

Beberapa menit kemudian martabak pesanan kita selesai. Dengan segera kamu membayar dan mengucapkan terima kasih. Kamu keluar dan langsung menuju motor. Tanpa diperintah aku mengikuti langkahmu dari belakang. Masih dalam keheningan tanpa sepatah kata pun yang terucap dari bibirmu hingga saat di mana kita tiba di taman pun kamu masih diam.

“Kamu sehat?” akhirnya aku membuka percakapan ketika kita sudah menempati salah satu bangku di sudut timur taman.
“Ya, aku sehat,” jawabmu singkat.
“Syukurlah.”
“Ada yang ingin aku bicarakan padamu.”
“Bicaralah.”
“Sepertinya kita membutuhkan hubungan yang lebih ringan.”
“Maksudmu.”
“Bagaimana kalau kita berteman saja?”

Mendadak martabak yang sedang kucerna dalam mulutku terasa kaku untuk dikunyah. Seluruh isi mulutku begitu terasa asin. Asin yang meningkat berkali-kali lipat. Air, aku butuh air. Kubuka botol air mineral yang terletak di sebelah kiriku dan langsung menenggaknya.

“Kenapa?” akhirnya aku mencoba untuk memaksa mulutku beucap.
“Aku Cuma nggak mau membuatmu tersiksa dengan segala sikapku. Kamu harus bahagia dan memikirkan hal-hal penting lain dalam hidupmu. Jangan terus terpaku pada hubungan ini.”

Aku semakin tidak mengerti dengan arah pembicaraanmu. Yang kutahu pasti bahwa kamu mulai melepasku. Mematahkan pertahananku atas segala perih. Ada badai besar yang berkecamuk dalam hati. Ada jutaan kubik air yang ingin merembes dari tempatnya. Namun nyatanya, sesakit apa pun luka yang telah kamu torehkan, aku selalu tidak bisa menangis di hadapanmu.

Malam ini, semuanya kurasa berat. Dengan gamang aku berjalan sendiri, melangkah dan bertahan untuk terlihat kuat. Kukunci rapat-rapat segala pintu air, kusumpal rapih segala celah rembesan. Malam ini, kamu telah melepasku atas sebuah alasan yang belum bisa kucerna dengan benar. Segala alasan yang sama sekali tidak masalah untukku. Dan pula aku tak mungkin menahanmu untuk bertahan. Bertahan pada apa yang sudah tidak kamu inginkan lagi.
***

“Mbak, ini pesanannya.” Tukang martabak yang tidak lagi muda itu menyodorkan martabak pesananku dan membuyarkan adegan yang selalu kembali terputar itu.

Dengan segera aku membayar dan mengucapkan terima kasi padanya. Hampir sejam ternyata aku menunggu martabak telur spesialku selesai dibuat. Benarkan, persoal menunggu itu tak menajadi hal bagiku.

Kini aku sudah menapakkan kaki di taman yang telah menjadi saksi atas segala kisah kita. Entahlah, mungkin aku terlalu bodoh karena terus menerus mengenang segala kisah denganmu. Aku berniat untuk duduk di tempat ‘kita’ dan melahap habis martabak favorit kita ini sendirian. Hingga akhirnya kuurungkan niatku ketika martabak telur yang kugenggam erat ini terjun bebas menghantam jalan setapak yang tengah kutapaki. 

Tubuhku membeku, air mataku lumer. Kamu sedang ada di sana. Duduk di tempat kita dengan perempuan cantik yang juga kukenali. Kamu menyuapkan sepotong martabak manis ke mulut indah perempuan itu. Perempuan yang kuketahui bahwa ia lebih segalanya dariku.

Kini kamu sudah menyukai martabak manis. Mungkin pilihan kita dari awal sudah salah dengan menyukai martabak telur yang memiliki rasa asin. Harusnya dari awal kita memilih martabak manis untuk mengantarkan segala kisah kita agar semuanya akan berjalan dan terasa manis pula.



@fetihabsari

Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates