Kamisan #5 Wishy Washy; Penantian
Hutan Mati, Papandayan 2665 mdpl |
Hai, apa kabar hati yang tengah diam memendam? Ada diam yang
harus kau dengar. Diam yang nyatanya mengoyak ketegaran dan menyembunyikan
luka. Ada malam yang tak hanya sekedar gelap. Ada rasa yang tak hanya sekedar
kata...
***
Aku masih terduduk diam dengan tatapan kosong. Tatapan yang
masih setia menyelami masa lalu. Menyelami setiap kenangan yang membuatku
tersenyum sekaligus menangis.
“Anila, sampai kapan kamu akan bertahan merawat luka yang telah
begitu nyata menyakitimu?”
“Entahlah. Mungkin aku terlalu menikmati setiap luka darinya.”
“Sudahlah, berhenti menyakiti dirimu sendiri! Berhenti menyiksa
hatimu! Berhenti berharap pada cinta yang dulu pernah ada dihatimu.”
Dan entah untuk yang kesekian kalinya, lagi-lagi hanya ada bulir
bening yang menetes.
“Lihat dirimu sendiri! Sampai kapan kamu mau terus menangis. Menangisinya
yang tidak akan pernah menangisimu kembali. Sampai kapan kamu mau terus merindunya
yang tidak akan pernah merindukanmu kembali? Sadarlah!” Sahabatku yang satu ini
memang tak pernah bosan untuk ‘menyadarkan’
ku dari jeratan perasaan yang telah membunuh logika.
Kalian selalu bertanya mengapa aku masih bertahan untuk merawat
luka yang telah begitu nyata menyakiti. Kalian selalu kehabisan kata untuk
mengingatkanku tentang luka yang nyata kalian lihat. Kalian selalu berucap
bahwa ‘dia’ telah begitu nyata menggoreskan luka yang harusnya telah
kutinggalkan.
“Nggak. Dia nggak sejahat yang kamu duga.”
“Nggak jahat kamu bilang? Lantas, apa artinya kalau dia hanya
bisa membuatmu terus menangis seperti zombie
hidup begini?”
“Aku masih cemburu,” akuiku dengan menahan sesak. “Aku masih
mencintainya, tapi kenapa cinta bisa sesakit ini.”
“Bagi sebagian orang, perselingkuhan adalah hal yang tidak bisa
dimaafkan.”
“Jika ia bertanya apakah aku masih mencintai dan menyayanginya,
ya, aku masih akan selalu mencintai dan menyayanginya meski aku tahu dia tidak
benar-benar mencintaiku sebab hatinya telah terbagi.”
Hening…
“Aku bodoh, ya,” kataku lagi.
“Ya, kamu bodoh. Sampai kapan kamu mau terus dibodohi olehnya? Sampai
kapan kamu sadar bahwa ia sudah begitu jahat dengan mengabaikan setia dan
bertahanmu?”
“Entahlah. Segala jahatnya selalu terhapus dengan segala
kebaikan dan cintanya yang pernah ada untukku. Masalah yang datang bukan untuk
menjatuhkan tapi untuk menguji seberapa kuat aku bertahan.”
“Berhentilah untuk ‘sok’
tegar dan menghibur diri sendiri. Berhentilah menjadi Ms Wishy Washy.”
“Wishy Washy?” Aku
mengerutkan dahi tanda tak mengerti.
“Ya, lemah pada perasaanmu sendiri. Plin-plan dalam menentukan
bahagiamu sendiri. Si Wishy Washy.”
Aku tersenyum simpul mendengar istilah asing yang baru saja
sahabatku katakan itu.
“Kamu sudah seharusnya membersihkan hati dan perasaanmu dari
kenangan masa lalu tentang dirinya. Membersihkan segala luka yang telah begitu
menginfeksi jiwamu itu,” lanjutnya lagi. Ah, sahabatku satu ini begitu cerewet
memang. Tapi aku beruntung memilikinya.
Iyakah sebutan si Wishy
Washy itu benar ada? Entahlah. Yang pasti, aku ingin lepas dan melupakan
segala luka tentangnya. Tapi nyatanya, hati kecil ini belum mau. Hati kecil ini
belum ikhlas. Hati kecil ini masih selalu mengingat segala kebaikan kecil,
kasih sayang, dan cintanya yang pernah ada untukku. Meski kutahu, bahwa kini
semua itu bukanlah untukku lagi, tapi aku masih ingin tetap bertahan. Bertahan menjadi
si Wishy Washy yang masih dengan
sabarnya merawat luka.
Adakah yang salah dengan sebuah penantian yang terlalu setia? Meski
nyatanya kau tahu setiamu telah diabaikan, dan bertahanmu telah dipatahkan….
@fetihabsari
2 komentar
:)
REPLYSeperti melihat aku yang dulu.
REPLYJangan terlalu lama menikmatinya :p