Kamis, 19 Juni 2014

Hutan Mati, Papandayan 2665 mdpl



Hai, apa kabar hati yang tengah diam memendam? Ada diam yang harus kau dengar. Diam yang nyatanya mengoyak ketegaran dan menyembunyikan luka. Ada malam yang tak hanya sekedar gelap. Ada rasa yang tak hanya sekedar kata...
***
Aku masih terduduk diam dengan tatapan kosong. Tatapan yang masih setia menyelami masa lalu. Menyelami setiap kenangan yang membuatku tersenyum sekaligus menangis.
“Anila, sampai kapan kamu akan bertahan merawat luka yang telah begitu nyata menyakitimu?”
“Entahlah. Mungkin aku terlalu menikmati setiap luka darinya.”
“Sudahlah, berhenti menyakiti dirimu sendiri! Berhenti menyiksa hatimu! Berhenti berharap pada cinta yang dulu pernah ada dihatimu.”
Dan entah untuk yang kesekian kalinya, lagi-lagi hanya ada bulir bening yang menetes.
“Lihat dirimu sendiri! Sampai kapan kamu mau terus menangis. Menangisinya yang tidak akan pernah menangisimu kembali. Sampai kapan kamu mau terus merindunya yang tidak akan pernah merindukanmu kembali? Sadarlah!” Sahabatku yang satu ini memang tak pernah bosan untuk ‘menyadarkan’ ku dari jeratan perasaan yang telah membunuh logika.
Kalian selalu bertanya mengapa aku masih bertahan untuk merawat luka yang telah begitu nyata menyakiti. Kalian selalu kehabisan kata untuk mengingatkanku tentang luka yang nyata kalian lihat. Kalian selalu berucap bahwa ‘dia’ telah begitu nyata menggoreskan luka yang harusnya telah kutinggalkan.
“Nggak. Dia nggak sejahat yang kamu duga.”
“Nggak jahat kamu bilang? Lantas, apa artinya kalau dia hanya bisa membuatmu terus menangis seperti zombie hidup begini?”
“Aku masih cemburu,” akuiku dengan menahan sesak. “Aku masih mencintainya, tapi kenapa cinta bisa sesakit ini.”
“Bagi sebagian orang, perselingkuhan adalah hal yang tidak bisa dimaafkan.”
“Jika ia bertanya apakah aku masih mencintai dan menyayanginya, ya, aku masih akan selalu mencintai dan menyayanginya meski aku tahu dia tidak benar-benar mencintaiku sebab hatinya telah terbagi.”
Hening…
“Aku bodoh, ya,” kataku lagi.
“Ya, kamu bodoh. Sampai kapan kamu mau terus dibodohi olehnya? Sampai kapan kamu sadar bahwa ia sudah begitu jahat dengan mengabaikan setia dan bertahanmu?”
“Entahlah. Segala jahatnya selalu terhapus dengan segala kebaikan dan cintanya yang pernah ada untukku. Masalah yang datang bukan untuk menjatuhkan tapi untuk menguji seberapa kuat aku bertahan.”
“Berhentilah untuk ‘sok’ tegar dan menghibur diri sendiri. Berhentilah menjadi Ms Wishy Washy.”
Wishy Washy?” Aku mengerutkan dahi tanda tak mengerti.
“Ya, lemah pada perasaanmu sendiri. Plin-plan dalam menentukan bahagiamu sendiri. Si Wishy Washy.”
Aku tersenyum simpul mendengar istilah asing yang baru saja sahabatku katakan itu.
“Kamu sudah seharusnya membersihkan hati dan perasaanmu dari kenangan masa lalu tentang dirinya. Membersihkan segala luka yang telah begitu menginfeksi jiwamu itu,” lanjutnya lagi. Ah, sahabatku satu ini begitu cerewet memang. Tapi aku beruntung memilikinya.
Iyakah sebutan si Wishy Washy itu benar ada? Entahlah. Yang pasti, aku ingin lepas dan melupakan segala luka tentangnya. Tapi nyatanya, hati kecil ini belum mau. Hati kecil ini belum ikhlas. Hati kecil ini masih selalu mengingat segala kebaikan kecil, kasih sayang, dan cintanya yang pernah ada untukku. Meski kutahu, bahwa kini semua itu bukanlah untukku lagi, tapi aku masih ingin tetap bertahan. Bertahan menjadi si Wishy Washy yang masih dengan sabarnya merawat luka.
Adakah yang salah dengan sebuah penantian yang terlalu setia? Meski nyatanya kau tahu setiamu telah diabaikan, dan bertahanmu telah dipatahkan….




@fetihabsari

2 komentar

Seperti melihat aku yang dulu.

Jangan terlalu lama menikmatinya :p

REPLY

Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates