Kamisan #3 ENDORFIN; Singgah
pic by @rizkaniaDR |
Hai, Desember basah yang sendu, mungkin aku tak butuh
tempat untuk singgah dalam perjalananku meluruhkan jarak, sebab jarak di antara
aku dan dirinya hanyalah waktu. Waktu yang terus berdetak tanpa celah untuk
singgah barang sedetik pun.
***
Tampaknya langit masih ingin melanjutkan tangisnya.
Hamparan yang biasanya biru dengan semburat jingga itu pun kini tampak hitam
pekat. Air masih tetap turun dari atas sana, semakin deras dan semakin
mencekam. Apa sebenarnya yang tengah terjadi pada langit sore di bulan Desember
ini?
Aku melemparkan pandangan ke luar saung rumah makan sunda
yang terbuat dari bambu-bambu sederhana tanpa kaca jendela. Semilir angin tajam
menusuk kulit hingga menyentuh sendi. Ada perih yang tiba-tiba terasa
menyakitkan. Hanya angin, padahal hanya angin! Rumah makan ini berbentuk
saung-saung kecil yang terpisah satu sama lain, sehingga pengunjung memiliki privasi masing-masing.
Aku menatap kosong bulir-bulir air yang jatuh dari langit.
Menikmati dengan nanar alunan derasnya hujan. Ada kekosongan dan kehampaan yang
seketika merasuki jiwa.
"Bagaimana? Kamu keberatan dengan keputusan ini?"
tanyanya dengan nada lembut yang selalu mampu meluluhkan segala logikaku.
"Aku bisa apa jika itu sudah menjadi
keputusanmu," ucapku datar menahan segala tangis yang tengah berkecamuk
dalam dada.
"Bukan seperti itu yang kumaksud. Harusnya ini
keputusan bersama. Kalau kamu tidak setuju, kita bisa kembali lanjutkan apa
yang sedang berjalan ini."
"Kalau kita masih bertahan menjalaninya, bagaimana
denganmu?"
"Aku masih bisa mencoba untuk bertahan."
'Masih bisa mencoba untuk bertahan.' ?
Entahlah, sudah kali keberapa kau bicara tentang bertahan. Dan pada akhirnya
selalu sama, bahwa nyatanya kamu tidak bertahan dan justru melepas.
Aku hanyalah manusia biasa yang punya batas dalam hal
menunggu terlebih dalam bertahan sendiri. Dan mungkin ini sudah saatnya aku pun
turut ikhlas untuk melepas.
"Aku nggak mau memaksamu bertahan lebih lama lagi pada
hal yang nggak kamu inginkan. Anggap saja ini keputusan bersama,” kataku
pasrah.
"Kamu yakin?"
"Jangan lagi pikirkanku, aku akan baik-baik saja.
Berbahagialah pada pilihanmu."
Dialog di penghujung senja yang kelam kembali terputar
setiap aku kembali ke tempat ini.
Harusnya tak lagi aku datang ke tempat ini. Harusnya tak
lagi aku meratap kisah yang telah berakhir. Harusnya tak lagi aku mengais janji
yang telah pudar.
Mungkin aku adalah persinggahan sesaatmu. Jika saja waktu
bisa berpihak pada kita, kuharap aku menjadi persinggahanmu selama-lamanya.
Kupikir ada yang lebih menyesakkan dibanding jarak kilometer, yaitu waktu. Kita
tidak akan pernah bertemu jika waktu terus berdetak, sementara kita berjalan sendiri-sendiri.
Kita tidak akan pernah sama, jika poros tetap berputar sementara salah satu di
antara kita hanya diam.
Kupikir, aku tak lagi butuh mencari tempat untuk singgah
selama-lamanya setelah bertemu denganmu. Kupikir segala angan indah yang kau
ucapkan adalah nyata untuk kurengkuh di depan nanti. Namun nyatanya semua
tinggallah semu. Kamu pergi mencari tempat persinggahanmu selanjutnya. Tempat persinggahan
akhir untuk hatimu. Dan itu bukan aku.
Ada celah yang tengah menahan perih. Perih teramat dalam
dengan luka menganga. Perih ini butuh sesuatu. Butuh kamu lebih tepatnya.
Kamu yang selama ini mampu menghilangkan rasa seperih apa
pun. Melenyapkan segala kecewa yang bahkan kecewa itu besumber darimu. Kamu
serupa morfin yang bertindak memproduksi endorfin berjuta-juta kali lipat untuk
hidupku.
Jika rindu adalah candu, maka temu adalah heroin yang mampu
menenangkan resah untuk menebus segala. Jika jarak adalah sakau yang
menyakitkan, maka kecup ibarat morfin yang berhasil menekan segala sakit.
Harusnya aku sadar bahwa kamu tak mampu lagi menjadi morfin
yang mampu memproduksi endorfin dalam hari-hariku. Meski nyatanya yang
kubutuhkan saat ini adalah endorfin penekan rasa sakit yang membuncah di dada. Itu
masih kamu.
Sudahlah, aku sudah terbiasa merawat luka hati sendiri.
Meski aku meragukan apakah endorfin dalam tubuhku mampu berproduksi lagi.
Jika harus ada yang kecewa (lagi), biar aku saja, jangan
yang lain... Perihal rindu yang menggebu, biar kusimpan saja sendiri meski
pilu.
Terima kasih telah menjadi endorfinku, meski sesaat. Selamat
berbahagia tanpaku. Mungkin.
7 komentar
Duh, kak Feti, i fell you :'))
REPLYBe happy.
ihihihiii...
REPLYyou too, Dek :*
*cuma mau kasih peluk aja*
REPLYinikah endorfin kepedihan :o
REPLYfet sini fet d traktir es klim sama tante Ar x))))))
*peluk ka Aria*
REPLYyess ditraktir es krim sama kak Aria sama kak Feb juga yess!!
Ish! Kok jadi aku yg traktir -,-
REPLY