Hilang
Ketika senja
telah menjebakmu dalam lingkaran cinta dengan segala kerumitannya, akankah kau
membenci senja detik itu juga? Apakah kau akan menyalahkannya? Memaki dan
merutuk pada senja??
Ingatkah kamu dengan semua
pertanyaanmu malam itu dan berujung pada kata ‘i love you too’ ?? Lantas
dua hari kemudian kamu justru menghilang tanpa kabar. Ketika hari di mana kamu berjanji memberiku hadiah sederhana yang
terindah-yaitu foto wisudamu, tapi kamu justru lenyap
bagaikan ditelan
bumi!
***
Sore itu, ketika aku sedang berjalan sendiri ditaman, manikmati senja dan menghirup semilir angin sore yang menyejukkan. Tiba-tiba aku melihat seorang anak perempuan kuncir dua dengan pita besar dikepalanya sedang menangis di bawah pohon mahoni besar. Merasa kasihan, aku pun menghampirinya.
“Kamu
kenapa?” tanyaku pada gadis kecil itu. Kira-kira umurnya baru lima tahun.
Bukannya
menjawab pertanyaanku, tangis gadis kecil itu malah semakin kencang. Aku panik
dan semakin bingung. Aku mencoba mengelus kepalanya dan kutanya lagi dengan
selembut mungkin.
“Kamu
kenapa? Jangan nangis dong, nanti cantiknya hilang loh!” seruku dan berharap
bisa menghentikan tangisnya. Namun sia-sia.
“Hai
cantik, kamu kenapa nangis? Mau ini nggak?” tiba-tiba kamu datang dan menyodorkan
es krim di hadapan gadis kecil itu. Dan ajaibnya tangis gadis kecil itu langsung
mereda.
“Mamaku
ilang kak,,, hiks!”
“Oooh,,
yaudah kamu ikut kakak,
yuuk.” Kamu mengajaknya sembari menggandeng
tangan mungil gadis itu.
Heran,
kenapa gadis kecil itu luluh sekali denganmu,
pria asing yang baru saja hadir. Aku saja yang
jelas-jelas baik hati gini nggak diperdulikan,
malah tangisnya semakin kencang. Huffftt dasar
anak kecil genit! Batinku merutuk tak jelas.
Aku
hanya bisa memandangi kalian
dalam kebisuan. Hatiku menyuruh untuk tidak membiarkan kalian. Dan kini langkahku
pun mengikuti kemana arah kalian
melangkah. Menjejaki jalan setapak yang
terbuat dari batuan yang tak kutahu jenisnya. Akhirnya
langkah kaki ini berhenti di kantor bagian keamanan taman kota. Ternyata kamu bukan penculik anak kecil seperti yang ada dalam otakku.
Setelah
gadis kecil itu bertemu dengan mamanya, kini tinggallah aku dan kamu di depan pos keamanan.
Baru saja aku ingin melangkahkan kaki pergi meninggalkan tempat ini tiba-tiba
hujan turun dengan derasnya bagaikan air yang ditumpahkan dari atas langit.
Aku
langsung berlindung lagi di bawah atap pos keamanan yang tak begitu sempurna
melindungi kakiku dari percikan-percikan air hujan yang seoalah mengajak kakiku
bermain. Kini aku hanya membisu, berdiri di sebelah pria asing ini sambil
menikmati butiran-butiran air hujan yang jatuh tanpa beban.
Aku memandangi sekeliling taman. Sepi. Hanya ada
ribuan air yang tumpah dari langit. Taman yang berada di kawasan Jakarta Pusat
ini biasanya selalu ramai dengan berbagai orang dan berbagai kegiatan.
Burung-burung merpati putih yang menjadi alasanku
untuk selalu datang kemari pun sudah tak terlihat lagi. Mereka bersembunyi
dalam rumah-rumah kayu yang dibuat khusus di tiap-tiap bagian taman ini.
Sebagai rumah untuk mereka berpulang.
“Langit,” katamu sambil menyodorkan
tangan di hadapanku.
Aku
menatap tangan yang terjulur itu dengan bingung.
“Namaku
Langit, nama kamu siapa?” kamu
memperjelas maksudnya tadi.
“Oohh,,
nama kamu Langit?
Aku kira kamu lagi ngigo.”
Aku meringis menatap
kearahnya “Nina.
Namaku, Nina…”
***
Ya,, itulah awal pertemuanku denganmu. Awal pertemuan dengan Langit yang selalu melukiskan jingga pada senja-senjaku selanjutnya. Diujung senja kami dipertemukan, melalui untaian kata kami dipersatukan. Aku dan Langit. Masih ingatkah, kamu?
Kami
memiliki ketertarikan yang sama, yaitu terhadap senja dan puisi. Kala senja
beranjak ke peraduannya, Langit selalu menyapaku melalui bait sajak yang
mengusik sudut relung hatiku. Terlalu sering kamu merangkai kata indah untukku. Dan
perlahan hatiku mulai luluh lantak karenamu.
Sejak
pertemuan pertama kami di taman dan melalui obrolan singkat, kami saling bertukar
nomor dan akun twitter. Melalui dunia mayalah kami semakin dipersatukan dan
didekatkan.
“Nin,
kamu main ke Bandung,
dong. Jakarta-Bandung Cuma
dua jam loh. Nanti pulangnya aku antar naik vespaku.”
“Iya, Langit, nanti yaah
kalo aku ada libur.”
“Aku
mau ngajak kamu ke tempat paling romantis.”
“Di mana?”
“Bukit
Bintang. Aku yakin kamu bakalan suka banget.”
Bukit
bintang selalu ada dalam angan-anganku semenjak obrolan kami malam itu.
Berharap untuk bisa menikmatinya bersama Langit. Langit yang selama ini kumiliki sebagai senjaku, aku ingin menjadikannya
juga sebagai malamku, kemudian fajarku.
***
Semalam, kamu berjanji untuk berbagi kebahagian denganku. Mengirim berbagai gambar kebahagianmu denganku.
“Siap-siap
besok kau akan kedatangan pemilik hatimu yang paling tampan, meski hanya
melalui gambar. Tenang, sehari setelah wisuda, aku akan mengunjungimu, kujemput
kamu lalu kita ke Bukit Bintang, ya,” ucapmmu pada perbincangan di telepon
malam itu. Malam sebelum kamu diwisuda esok paginya. Dan ternyata malam di mana
seharusnya aku pun mengucapkan salam perpisahan untukmu.
Pagi itu, pagi di bulan Desember yang cerah aku
menggenggam erat handphoneku yang masih enggan berdering. Pagi ini adalah pagi
yang paling kamu nanti. Pagi di mana kamu akan diwisuda. Selamat! Selamat penuh
cinta dariku yang berjarak kilometer denganmu.
Aku masih ingat dan akan selalu ingat tentang angan
dan mimpi-mimpimu.
“Aku ingin mengajar anak-anak di daerah pedalaman. Hasratku
berbagi dengan mereka yang tak selalu di lihat dan dipandang tak bisa apa-apa.
Aku yakin mereka bisa menjadi generasi penerus bangsa yang sedang rapuh ini.”
Aku tersenyum bangga mendengar inginmu, walau sadar
jika itu artinya akan semakin menambah jarak kita. Tapi aku tak peduli pada
jarak, sebab aku tahu bahwa hati kita tak akan pernah berjarak.
“Kalau aku ingin ke pedalaman, bagaimana?” tanyamu
kemudian.
“Bagaimana apanya? Aku selalu mendukung apa yang baik
untukmu, Sayang,” kataku lembut.
“Tapi itu artinya jarak kita akan semakin jauh.”
“Jarak kilometer bukanlah penghalang bagi hati yang
sudah ditakdirkan untuk bersatu. Percayalah, jarak akan mengajarkan kita untuk
lebih menghargai pertemuan dan merawat rindu dengan baik.”
“Terima kasih atas segala pengertianmu.”
“Terima kasih kembali atas segala yang tak pernah bisa
kuucapkan dengan kata-kata.”
Aku masih menyimpan segala perbincangan kita perihal
jarak, rindu, angan, mimpi dan segala tentangmu. Tentang kita. Sampai pagi ini.
Pagi di mana tak jua kau beri aku kabar bahagiamu.
Aku berfikir bahwa kamu tengah sibuk dengan bahagiamu
di sana. Aku menanti detik, menit, jam hingga malam menjelang. Segala chat, sms
dan teleponku tak ada yang kau acuhkan.
Ada yang salah! Benar-benar ada yang salah!
Aku teringat perbincangan kita
perihal kenangan. 'Aku tak percaya pada kenangan, aku hanya percaya pada senja-ku yaitu
kamu,’ katamu begitu pasti. Kemudian aku kembali bertanya pada hati, masihkah
itu berlaku?
Senja kita masih
tersimpan rapi dalam rasa ini, dan aku masih percaya pada kenangan yang tak kau percaya. Kini aku
terombang-ambing dalam rapuhnya harapan. Terbang dalam kenangan yang
menyesakkan jiwa. Mungkin kini kamu telah menjadi sepenggal kenangan dalam
senjaku.
Semenjak malam kau menghilang, benar-benar menghilang
dari kisah yang kupikir akan berakhir indah ini. Hingga pada akhirnya beberapa
minggu setelah malam itu aku menemukan sebuah foto. Fotomu bersama dengan
seorang gadis manis berkerudung terpampang pada akun twittermu.
Tahukah kamu bahwa
perasaan bukanlah untuk di permainkan? Masih ingat senja yang mempertemukan kita? Atau kenangan yang tidak kamu percaya itu?
Aahh, Langit, ternyata kau pun sama dengan mereka yang
tiba-tiba datang dan kemudian pergi begitu saja tanpa jejak. Kalian sama!
Membuatku berfikir memutar otak dan memeras perasaan.
Mengapa semua selalu berakhir seperti ini. Mungkinkah aku yang bersalah atas
segala hal tentang kisah ini, hingga kau dan mereka-yang lalu-selalu dengan
mudahnya pergi tanpa basa basi.
Sudahlah, tidak penting membahas hati dan perasaanku.
Aku sudah terbiasa merawat lukaku sendiri. Luka-luka tersebab harapan yang
tiba-tiba dihempaskan. Sembab tersebab air mata yang tanpa pernah kau tahu.
Jaga hatimu, jaga
hatinya, semoga senjamu kali ini yang terindah dan tak berubah. Selamat berbahagia dengannya.
***
Dan tanpa perlu kau tahu pula, tempat ini masih menjadi tempat favoritku. Bukan maksudku untuk terus mengenang. Jangan salahkan jika aku adalah pengingat yang baik. Bukan maksudku untuk terus mengingat. Hanya saja aku sedang menikmati prosesnya.
@fetihabsari