Punggung
“Jangan
pergi…” ratap seorang perempuan kepada kekasihnya. Ia menatap tajam pada
kedalaman mata lelakinya itu. Tak mampu lagi membendung lelehan air mata yang merembes
membasahi pipinya. Kemudian, ia memeluk kembali lelakinya. Erat, lebih erat. Tak
ingin melepaskannya, tak ingin membiarkan lelakinya pulang.
Suasana
Stasiun Bandung malam ini terasa begitu kelam bagi perempuan berkulit putih
dengan rambut sebahu itu. Kini wajahnya pucat, sembab tersebabkan oleh
tangisnya.
Lelaki
itu berusaha mengendurkan pelukan perempuannya. “Sudah, jangan menangis, aku
harus pulang, Sayang,” bisik lelaki itu. Dengan lembut, jemarinya menghapus air
mata yang terus membasahi pipi perempuannya itu. “Nanti aku akan kembali untuk
menjengukmu, atau kamu yang ke kotaku,” lanjutnya lagi seraya menyunggingkan
senyum.
Dan
sialnya, senyuman itu menambah berat perempuan itu untuk melepaskan lelakinya
pulang. Senyuman itulah yang selalu membuatnya tersenyum pula. Sapaan sayang yang
selalu menghangatkan jiwanya. Pelukan yang selalu melindunginya. Semua hal dari
lelaki itu membuat sang perempuan tak ingin sedetik pun melepaskannya.
“Aku
kesal dengan waktu! Kenapa ia tidak mau berhenti berdetak, agar kita tak pernah
kehabisan waktu!” pekik perempuan itu dengan suara yang sedikit tertahan.
“Heii,
kamu tidak boleh kesal dengan waktu, Sayang. Yang tak bisa kita hentikan adalah
waktu, sebab ia akan mengantarkan kita kepada masa depan yang lebih indah. Mungkin.”
Lelaki itu berusaha menenangkan perempuannya itu.
“Kalau
begitu aku benci pada jarak!”
“Jangan
pernah membenci jarak, apalagi merutuk waktu. Sebab, merekalah yang mengajarkan
kita tentang arti dan kedalaman sebuah rindu.”
“Tapi
aku mau kamu ada di sini.” Air mata perempuan itu semakin deras meleleh.
“Aku
mohon jangan menangis lagi, batinku tersiksa melihatnya,” mohon sang lelaki.
“Maaf,,,
aku hanya ingin,,,” perempuan itu hanya tertunduk dan tak sanggup melanjutkan
kalimatnya.
“Aku
mengerti, Sayang. Aku mengerti. Pada suatu hari nanti, akan ada saat di mana
kita saling mencumbu rindu tanpa harus ada yang pulang meninggalkan yang lain.”
“Kereta Api Harina tujuan Stasiun
Turi Surabaya akan segera diberangkatkan, kepada penumpang agar segera naik ke
dalam kereta.” Sebuah suara yang sangat dibenci dan
ditakuti oleh perempuan itu. Sebenarnya bukan masalah suaranya, tapi adalah isi
pemberitahuannya.
“Aku
harus pulang sekarang, Sayang. Aku tunggu kamu di kotaku,” ucap lelaki itu. Ia mengecup
kening perempuannya, memeluknya sekali lagi dan membisikkan sesuatu.
“Pulanglah,
kabari aku.” Hanya itu yang mampu keluar dari bibir tipis perempuan itu.
Kaitan
jemari mereka perlahan mengendur dan akhirnya terlepas. Lelaki itu mulai
melangkah menuju pintu masuk utama. Setiap detik, semakin terbentang jarak di
antara mereka. Perlahan tapi pasti, sosok lelakinya itu akan segera menghilang
dari pandangannya. Lelaki itu tak lagi menoleh ke belakang, hanya ada punggung
yang sebentar lagi juga akan lenyap dari pandangan.
Pada
suatu hari nanti, entah berapa minggu, bulan atau tahun lagi, jika jarak dan
waktu tiba-tiba berkata lain. Jika takdir membawa lelakinya pergi dan menghilang
dari hidupnya, ia akan selalu bisa menemukannya kembali. Meski harus mencari di
antara lautan manusia yang terus berjalan membelakanginya. Perempuan itu tetap
akan mengenali lelakinya. Meski hanya sebatas punggung, ia akan berlari dan
memeluk lelakinya itu dari belakang, kemudian membenamkan wajahnya pada
punggung itu. Punggung yang ia kenal dan akan selalu terpatri dalam ingatan.
@fetihabsari
*Tulisan ini diikutsertakan pada
Lelang Buku Bayar Karya
LoveBooksALotID