Sajak Kangen
Mentawai yang jauh memanggilmu.
Angin Bekasi semakin riuh.
Sekujur waktu aku menunggumu di ujung bandara,
biar semilir angin yang berhembus sejak perpisahan membawa langkahmu pergi tak semakin dingin.
Pelupuk petang mulai meregang.
Tak ada hiasan dalam hati, detik demi detik.
Hatipun mengelegar
Tidakkah kau tahu?
Aku di sini meringkuk, menanti angin bersiul,
pertanda ia membawa pesan rindu darimu
Namun, apa yang kini kudapat?
Hanya tiupan angin hambar yang melayang-layang tak tentu arah.
Aku kehilangan pesan angin, aku kehilangan pertanda yang dibawa olehnya.
Dan ketika ku sadar, aku telah kehilangan rindu darimu...
Kini hanya tersisa rindu yang pincang,
ialah rinduku...
Setiap hari sebelum perpisahan itu kau hadiahi,
aku duduk memeluk lututku sendiri,
memandang ke depan dengan nanar.
Melingkari angka-angka pada almanak dengan tanda silang bertinta merah yang mengikuti langkah kakimu.
Aku tahu, seharusnya aku bahagia,
sebab ini adalah perpisahan yang terencana.
sebab ini adalah perpisahan yang terencana.
Tanpa perlu menakar mengapa kau pergi,
tangisku tak perlu runtuh berkali-kali.
Namun, tahukah kau bahwa ia menghasilkan sesak yang sama?
Bagaimana Mentawai-mu, sayangku?
Apakah ia lebih panas dari Bekasi yang begitu jauh dari matamu, pun ingatanmu?
Entahlah aku enggan menjawabnya.
Kini biarkan aku menelusuri relung-relung hatiku yg sedang sendu.
Sendu merindu wajahmu yang syahdu.
Aku merindumu,
ketika kau menyobek sachet kopi, menuangkannya dalam cangkir.
Serta menambahkan setengah sendok teh gula pasir.
Sederhana memang, tapi tak sesederhana yang kurasa.
Mataku tebing tinggi, kau sungai di bawahnya.
Terasakah air terjun mataku menimpa wajahmu?
Rindu membelenggu dalam pusara waktu.
Inginku mendekap erat jiwamu.
Namun, kau lenyap bagai bayang ilusi.
Dirundung pilu yang terlalu menyayat.
Untuk cinta yang ditinggalkan rindu.
Sepatah? dua patah? tiga patah katapun,
tak bisa menebus kata rinduku.
by kawan-kawan @malampuisi_bks