Sabtu, 31 Agustus 2013



            Berada disebuah kedai es krim bersamanya merupakan saat yang begitu kunantikan. Meski teramat sering kami ketempat ini. Namun aku tak pernah bosan menanti saat itu, dan selalu berharap waktu berhenti di sini saja agar aku bisa tetap terus bersamanya.
Kedai es krim ini bernuansa klasik dengan segala furniture yang terbuat dari kayu berhiaskan ukiran-ukiran unik. Kupandangi setiap detail ukirannya begitu mengesankan. Suasana sederhana namun tetap terlihat elegan. Belum lagi alunan lagu-lagu yang terputar menggema memenuhi seisi ruangan membawa kesan romantis.
Dan yang paling utama dari tempat ini yaitu daftar menu es krimnya yang beragam. Tempat ini selalu ramai oleh para pengunjung yang didominasi oleh para pasangan kekasih. Bagi penikmat es krim, tempat ini sudah tidak asing lagi.
Biasanya aku dan wanita yang ada di hadapanku ini memesan es krim yang berbeda, kemudian setelah itu kami saling berbagi pesanan masing-masing, bercerita tanpa alur, melepas tawa tanpa beban. Bahkan es krim yang ada di dalam mangkuk tiba-tiba saja bisa berpindah tempat di wajah kami. Seperti anak kecil. Ya itulah kami.
Gelak tawanya. Manis. Hangat. Penuh keceriaan. Dan telah membuatku candu. Selalu ingin kukantongi dalam hati dan kubawa pulang sebagai penenang jiwa. Terkadang hal sederhana begitu memiliki makna yang begitu hidup. Dinginnya es krim selalu mampu menghangatkan suasana yang sedang kami jalin bersama tanpa sekat.
Namun kali ini es krim tak mampu lagi menghangatkan suasana hatinya. Untuk membekukan airmatanya pun es krim kini tak sanggup lagi. Justru es krim yang ada dihadapan kami kini turut bersedih. Harus menjadi penonton kesedihan tanpa sedikitpun dicicipi.
Tatapanku tertuju tajam pada matanya, mengikuti setiap bulir air yang keluar dari tempat indah itu. Sungguh sesak jiwa ini melihatnya tersakiti. Begitu perih hati ini ketika harus menatapnya penuh luka. Terlebih melihatnya terluka karena pria lain seperti saat ini, itu bagaikan cambuk berduri yang berkali-kali menghantam jantungku. Pedih!
Tak ada lagi gelak tawanya yang membuatku candu. Senyumannya yang begitu mendamaikan jiwa pun tidak terlukis diwajahnya sepanjang hari ini. Kini aku hanya mampu menatapnya dalam kebisuan. Membiarkannya sejenak meluapkan luka lewat air mata.
Rianti, nama wanita yang kini sedang tersedu di depanku. Menangis tiada henti demi menahan perih di hatinya. Luka yang disebabkan oleh seorang pria bernama Dodo.
Sejak beberapa jam yang lalu Dodo telah sah menjadi mantan kekasihnya. Dodo mengkhianatinya dengan berselingkuh dengan wanita lain. Dan bejatnya lagi Dodo memilih wanita selingkuhannya itu dibanding Rianti. Meninggalkannya bersama dengan janji-janji manis dan harapan-harapan tentang angan yang indah.
Ingin rasanya aku membunuh pria bernama Dodo itu. Lega rasanya Rianti telah berpisah darinya. Karena itulah yang aku inginkan selama ini. Dodo bukanlah yang terbaik untuknya. Namun bukan juga dengan melihatnya meratapi luka seperti saat ini. Justru ini semakin membuatku nelangsa atas perasaan ini.
Rianti adalah sahabatku. Ia sahabatku sejak kami duduk di bangku SMA. Dan sejak saat itu pula aku memendam rasa padanya tanpa pernah ia tahu. Berada didekatnya adalah hal yang selalu aku inginkan. Walaupun selama ini hanya menjadi tempatnya curhat.
Sesak ketika ia bercerita tentang ini itu dan segala kisah romantis bersama pacar-pacarnya selama ini. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik dan memendam rasa ini dalam-dalam. Meski perih namun kutahan agar tetap bisa berada didekatnya. Aku rela!
Aku mencintainya! Apa itu salah? Rasa ini begitu murni mencintainya tanpa alasan.
Aku tak tahan melihatnya seperti saat ini. Dan kurasa detik ini sudah klimaksnya aku memendam rasa. Perlahan kuraih tangannya yang sedang mengaduk-aduk es krim malang itu. Menarik perhatiannya untuk menatapku.
“Rianti, cukup! Aku nggak kuat liat kamu terluka kaya begini!” teriakku lantang di hadapannya.
Namun ia mengacuhkanku. Air matanya tetap mengalir deras tiada henti.
“Rianti! Aku emang nggak romantis, nggak pernah tau apa itu arti mawar merah apalagi mengumbar kata-kata cinta! Karena buatku, cinta adalah rasa yang seharusnya diekspresikan dengan sikap dan bukanlah dengan kata-kata klise!” kata-kata itu refleks meluncur dari mulutku begitu saja.
Rianti yang tak mengerti atas apa yang telah terjadi padaku, seketika tangisnya terhenti. Ia justru menatapku bingung tak mengerti dan meminta penjelasaan.
“Remi, kamu ngomong apa sih barusan? Kamu sakit? Atau kesambet penunggu kedai?” tanyanya polos.
DAMN!!! Ucapanku barusan memang seperti orang kesambet bagi Rianti. Karena selama ini aku orang yang renyah dengan lawakan-lawakan yang konyol tidak romantis sedikitpun. Jadi jelas jika Rianti mempertanyakan kondisi jiwaku saat ini. Aku pun tak mengerti, monster apa yang sedang merasukiku.
“Rianti, kita tidak butuh kata cinta untuk menyadari perasaan masing-masing. Bahkan, aku tahu, sejak awal kita sudah saling memiliki!” Astaga! Apalagi yang barusan kukatakan? Hingga membuat tampang Rianti pucat kebingungan seperti ini.
Rianti menyentuh dahiku. Mengecek apakah suhu tubuhku normal. “Nggak panas kok,” ujarnya polos.
Aku meraih lagi tangannya, menurunkannya dari dahiku. Masih ada yang harus aku selesaikan. Ucapanku belum selesai.
“Rianti, aku mencintaimu! Sejak awal persahabatan kita! Jangan pernah kamu tanyakan apa alasannya. Karena aku pun tak tahu alasannya,” ucapanku berhenti sejenak menatap wajahnya yang seketika memerah panas. “Cinta tak butuh alasan, karena aku takut jika alasan itu hilang maka cintaku ke kamu juga hilang,” lanjutku.
“Remi, tapi selama ini...”
“Aku hanya mengungkapkan perasaanku selama ini. Aku nggak minta kamu buat jadi pacar aku. Cukup kamu tahu perasaan aku aja, itu udah cukup!” Aku memotong ucapannya.
Aku selesai. Aku diam dan Rianti pun ikut membisu. Hening, tak ada yang bicara diantara kami. Seketika suasana sedingin kutub berada di suhu minus. Membeku.
Tiba-tiba lengkungan senyum wanita itu mencairkan segala kebekuan. Menghangatkan suasana dingin ini. Tangannya meraih tanganku.
“Cinta tak butuh mawar merah dan kata-kata klise. Tapi aku butuh kamu, Remi!” ucapanya memekarkan mawar-mawar indah dalam anganku.



@fetihabsari

Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates