Smile For You
Berada disebuah kedai es krim
bersamanya merupakan saat yang begitu kunantikan. Meski teramat sering kami
ketempat ini. Namun aku
tak pernah bosan menanti saat itu, dan selalu berharap waktu berhenti di sini saja agar aku bisa
tetap terus bersamanya.
Kedai
es krim ini bernuansa klasik dengan segala furniture
yang terbuat dari kayu berhiaskan ukiran-ukiran unik. Kupandangi setiap detail
ukirannya begitu mengesankan. Suasana sederhana namun tetap terlihat elegan.
Belum lagi alunan lagu-lagu yang terputar menggema memenuhi seisi ruangan
membawa kesan romantis.
Dan
yang paling utama dari tempat ini yaitu daftar menu es krimnya yang beragam.
Tempat ini selalu ramai oleh para pengunjung yang didominasi oleh para pasangan
kekasih. Bagi penikmat es krim, tempat ini sudah tidak asing lagi.
Biasanya
aku dan wanita yang ada di hadapanku ini memesan es krim yang berbeda, kemudian
setelah itu kami saling berbagi pesanan masing-masing, bercerita tanpa alur, melepas tawa tanpa
beban. Bahkan es krim yang ada di dalam mangkuk tiba-tiba saja bisa berpindah
tempat di wajah kami. Seperti anak kecil. Ya itulah kami.
Gelak
tawanya. Manis. Hangat. Penuh keceriaan. Dan telah membuatku candu. Selalu
ingin kukantongi dalam hati dan kubawa pulang sebagai penenang jiwa. Terkadang
hal sederhana begitu memiliki makna yang begitu hidup. Dinginnya es krim selalu
mampu menghangatkan suasana yang sedang kami jalin bersama tanpa sekat.
Namun
kali ini es krim tak mampu lagi menghangatkan suasana hatinya. Untuk membekukan
airmatanya pun es krim kini tak sanggup lagi. Justru es krim yang ada dihadapan
kami kini turut bersedih. Harus menjadi penonton kesedihan tanpa sedikitpun
dicicipi.
Tatapanku
tertuju tajam pada matanya, mengikuti setiap bulir air yang keluar dari tempat
indah itu. Sungguh sesak jiwa ini melihatnya tersakiti. Begitu perih hati ini
ketika harus menatapnya penuh luka. Terlebih melihatnya terluka karena pria
lain seperti saat ini, itu bagaikan cambuk berduri yang berkali-kali menghantam
jantungku. Pedih!
Tak
ada lagi gelak tawanya yang membuatku candu. Senyumannya yang begitu
mendamaikan jiwa pun tidak terlukis diwajahnya sepanjang hari ini. Kini aku
hanya mampu menatapnya dalam kebisuan. Membiarkannya sejenak meluapkan luka
lewat air mata.
Rianti,
nama wanita yang kini sedang tersedu di depanku. Menangis tiada henti demi
menahan perih di hatinya. Luka yang disebabkan oleh seorang pria bernama Dodo.
Sejak
beberapa jam yang lalu Dodo telah sah menjadi mantan kekasihnya. Dodo mengkhianatinya
dengan berselingkuh dengan wanita lain. Dan bejatnya lagi Dodo memilih wanita
selingkuhannya itu dibanding Rianti. Meninggalkannya bersama dengan janji-janji
manis dan harapan-harapan tentang angan yang indah.
Ingin
rasanya aku membunuh pria bernama Dodo itu. Lega rasanya Rianti telah berpisah
darinya. Karena itulah yang aku inginkan selama ini. Dodo bukanlah yang terbaik
untuknya. Namun bukan juga dengan melihatnya meratapi luka seperti saat ini.
Justru ini semakin membuatku nelangsa atas perasaan ini.
Rianti
adalah sahabatku. Ia sahabatku sejak kami duduk di bangku SMA. Dan sejak saat
itu pula aku memendam rasa padanya tanpa pernah ia tahu. Berada didekatnya
adalah hal yang selalu aku inginkan. Walaupun selama ini hanya menjadi
tempatnya curhat.
Sesak
ketika ia bercerita tentang ini itu dan segala kisah romantis bersama
pacar-pacarnya selama ini. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik dan
memendam rasa ini dalam-dalam. Meski perih namun kutahan agar tetap bisa berada
didekatnya. Aku rela!
Aku
mencintainya! Apa itu salah? Rasa ini begitu murni mencintainya tanpa alasan.
Aku
tak tahan melihatnya seperti saat ini. Dan kurasa detik ini sudah klimaksnya aku memendam rasa. Perlahan
kuraih tangannya yang sedang mengaduk-aduk es krim malang itu. Menarik perhatiannya
untuk menatapku.
“Rianti,
cukup! Aku nggak kuat liat kamu terluka kaya begini!” teriakku lantang di
hadapannya.
Namun
ia mengacuhkanku. Air matanya tetap mengalir deras tiada henti.
“Rianti!
Aku emang nggak romantis, nggak pernah tau apa itu arti mawar merah apalagi
mengumbar kata-kata cinta! Karena buatku, cinta adalah rasa yang seharusnya
diekspresikan dengan sikap dan bukanlah dengan kata-kata klise!” kata-kata itu
refleks meluncur dari mulutku begitu saja.
Rianti
yang tak mengerti atas apa yang telah terjadi padaku, seketika tangisnya
terhenti. Ia justru menatapku bingung tak mengerti dan meminta penjelasaan.
“Remi,
kamu ngomong apa sih barusan? Kamu sakit? Atau kesambet penunggu kedai?” tanyanya
polos.
DAMN!!!
Ucapanku barusan memang seperti orang kesambet bagi Rianti. Karena selama ini
aku orang yang renyah dengan lawakan-lawakan yang konyol tidak romantis
sedikitpun. Jadi jelas jika Rianti mempertanyakan kondisi jiwaku saat ini. Aku
pun tak mengerti, monster apa yang sedang merasukiku.
“Rianti,
kita tidak butuh kata cinta untuk menyadari perasaan masing-masing. Bahkan, aku
tahu, sejak awal kita sudah saling memiliki!” Astaga! Apalagi yang barusan
kukatakan? Hingga membuat tampang Rianti pucat kebingungan seperti ini.
Rianti
menyentuh dahiku. Mengecek apakah suhu tubuhku normal. “Nggak panas kok,” ujarnya
polos.
Aku
meraih lagi tangannya, menurunkannya dari dahiku. Masih ada yang harus aku
selesaikan. Ucapanku belum selesai.
“Rianti,
aku mencintaimu! Sejak awal persahabatan kita! Jangan pernah kamu tanyakan apa
alasannya. Karena aku pun tak tahu alasannya,” ucapanku berhenti sejenak
menatap wajahnya yang seketika memerah panas. “Cinta tak butuh alasan, karena
aku takut jika alasan itu hilang maka cintaku ke kamu juga hilang,” lanjutku.
“Remi,
tapi selama ini...”
“Aku
hanya mengungkapkan perasaanku selama ini. Aku nggak minta kamu buat jadi pacar
aku. Cukup kamu tahu perasaan aku aja, itu udah cukup!” Aku memotong ucapannya.
Aku
selesai. Aku diam dan Rianti pun ikut membisu. Hening, tak ada yang bicara
diantara kami. Seketika suasana sedingin kutub berada di suhu minus. Membeku.
Tiba-tiba
lengkungan senyum wanita itu mencairkan segala kebekuan. Menghangatkan suasana
dingin ini. Tangannya meraih tanganku.
“Cinta
tak butuh mawar merah dan kata-kata klise. Tapi aku butuh kamu, Remi!” ucapanya
memekarkan mawar-mawar indah dalam anganku.
@fetihabsari