Rai(n)You
Aku
melirik jam tangan berwarna merah yang melingkar di tangan kiriku ini untuk
yang kesekian kalinya. Jarum jam terus berdetak tanpa suara. Sudah pukul tujuh
rupanya. Aku mendongak, mengintip dari balik atap halte, menatap langit gelap
pekat yang tanpa bintang. Langit malam ini tak lagi sekedar mendung, tapi juga
menangis. Menumpahkan airnya, mengguyur bumi.
Tatapanku
kembali menatap kosong pada jalanan basah. Mobil dan motor berlalu lalang
menembus derai air mata yang turun dari langit itu. Aliran airnya tak kunjung
mereda. Butirannya justru semakin besar dan deras. Ditambah suara klakson
robot-robot jalanan yang memekakkan telinga itu membuatku semakin risau.
Semilir angin malam pun mulai berani menusuk kulitku, mengajak bulu kudukku
bermain.
Hampir
satu jam aku berdiri di halte bus yang terletak di depan gedung berlantai tiga
puluh sembilan dibilangan kuningan ini. Menunggu bus yang biasanya selalu setia
mengantarkanku pulang. Namun, bus yang kunantikan itu tak kunjung tiba.
Tampaknya ia sengaja membiarkanku berlama-lama menunggu di sini untuk menikmati
hujan malam ini. Hanya berteman sepi dan semilir angin nakal di sebuah halte.
Sendiri. Hanya hampa yang semakin terasa.
Aku
mulai bersedekap, merapatkan blazer
untuk menepis angin yang mulai berani menelanjangiku dalam kebisuan malam ini.
Hujan malam ini terasa begitu tragis rasanya. Aneh, tak ada satu orang pun di
halte yang biasa ramai ini. Aku kembali menatap nanar pada hiruk pikuk jalanan
dalam irama hujan yang kian terdengar kacau.
“Belum
pulang, Non?” tanya suara pria yang tiba-tiba mengagetkanku. Aku kenal suara
ini.
Aku
berbalik dan langsung menatap seorang pria tinggi tegap berparas manis. Tepat
dugaanku. Gilang tersenyum manis ke arahku sembari memegang payung di tangan
kanannya. Aaah,, senyuman itu...
“Mau
naik apa?” tanyanya lagi. Dan aku masih saja membisu.
“Lagi
nunggu bus yang biasa,” jawabku pada akhirnya.
“Udah
jam segini belum dapet bus? Kayanya busnya kejebak di jalan deh, hujannya deras
banget soalnya.”
“Mungkin,”
ucapku dengan nada lirih sekaligus pasrah.
“Terus,
masih mau nuggu bus?”
“Mungkin
naik taksi aja, deh.”
"Belum makan, kan?" tanyanya.
Refleks aku menatapnya. Ya jelas belum. Secara, pulang kantor
langsung 'tenggo' dan ternyata malah
kejebak hujan di halte sepi begini. Apanya yang mau dimakan? Gerutuku dalam
hati.
"Udah nggak usah begitu tampangnya," ujar Gilang yang
sepertinya tau gerutuanku tadi. "Makan dulu, yuk," ajaknya.
Gilang mengajakku makan? Ada apa ini?
Tanpa pikir panjang, aku langsung menyetujui ajakannya. Siapa yang
akan menolak jika diajak dinner sama gebetan? Eh, dinner?? Ya, whateverlah
aku menganggap ajakan ini sebagai apa.
Jadilah, aku dan Gilang berjalan menuju Setiabudi One Building
yang hanya berjarak dua gedung dari tempat kami berdiri. Kami berjalan bersama
dalam satu payung. Ia merapatkan tubuhnya dan merangkulku. Berusaha
melindungiku dari percikan air hujan yang nakal.
Kami berjalan menembus derasnya hujan dalam suasana hening. Kami
membisu. Hanya suara air yang tumpah dari langitlah yang terdengar. Aku
menikmati setiap detik langkah bersamanya. Di bawah guyuran hujan dan dinginnya
kebisuan yang terjadi di antara kami, aku menikmatinya. Berharap waktu berhenti
berputar detik ini juga.
Akhirnya kami memilih Dapur Sunda untuk makan malam. Aku merutuk
dalam hati, kenapa tempat ini begitu dekat jaraknya dengan tempat kami tadi
memulai jalan bersama? Aku rela jika harus berjalan berkilometer di bawah
derasnya hujan, jika bersamanya.
"Mau pesan apa?" tanyanya, menyadarkanku dari rutukan
dalam hati.
"Iga bakar saus madu sama orange juice."
"Iga bakar saus madunya dua sama orange juicenya dua ya,
mbak," jelasnya kepada witters.
Kemudian, membisu lagi. Hening. Aku tahu, Gilang menatapku. Namun
aku tak berani membalas tatapannya. Aku hanya menatap keluar jendela dan
kembali meresapi hujan di luar sana.
Setelah hening beberapa menit, makanan yang kami pesan pun tiba.
Kami makan dalam kebisuan. Tak ada sepatah kata pun yang terucap diantara kami.
Hingga pada akhirnya, setelah selesai makan...
“Vit, kamu pernah suka sama aku, ya?” tanyanya langsung, tanpa
basa-basi.
Deg. Aku membeku. Pertanyaannya seolah bagai busur yang dengan tepat menembakku
diam di tempat. Pertanyaan yang tak pernah kusangka akan keluar dari mulutnya.
Mata bening itu tampak begitu mendamaikan. Lembut dan tenang,
namun penuh arti. Mata itu, mata yang telah mencuri pandanganku selama ini.
Kini ada gempa pribadi yang bergemuruh riuh dalam dadaku.
“Haaahh?!!” Hanya kata itu yang pertama keluar dari mulutku. “Kata
siapa? Ge-er banget sih, Mas,” elakku. Tak berani lagi aku menatap matanya, takut jika
kebohonganku akan terungkap oleh matanya.
“Bang Boni, yang bilang.”
“Mas percaya, sama Bang Boni?”
“Bang Boni kasih bukti ke aku.”
“Bukti apa?”
“Bbm’an kita yang kamu capture
dan save di laptop. Catatan tentang
aku di dalam note kamu.”
Glek. Aku benar-benar telah kalah telak. Bang Boni memang tidak bisa
jaga rahasia. Bagaimana bisa dia buka-buka laptop dan note aku?
“Kamu pernah suka sama aku, kan?” Ia mengulangi pertanyaannya.
“Nyaman,” jawabku singkat.
“Suka?”
“Nyaman!”
“Tapi suka, kan?” Lagi-lagi, ia tetap bertahan pada pertanyaannya.
Aku tahu, ini bukanlah candaan, ini obrolan serius.
“Nyaman sama suka itu, beda!”
“Oke, terserah kamu mau anggap itu apa,” ujarnya pasrah. Berusaha
menghentikan kebodohan ini. “Aku nggak nyangka kalau ternyata kamu suka sama
aku. Berarti perasaanku terbalas, kan?” lanjutnya dengan pasti.
Dan lagi-lagi, pernyataannya membuatku membeku di tempat.
“Aku sadar perbedaan umur kita yang begitu jauh. Aku pikir kamu
hanya menganggapku sebagai kakak. Terlebih sikap kamu yang menjauh akhir-akhir
ini.”
Tentang sikapku yang menjauhinya, itu sengaja kulakukan. Aku
memang menginginkannya, tapi aku sadar, ia terlalu sempurna untukku. Lagipula, ia
tidak mungkin suka dengan anak kecil yang baru genap 20 tahun sepertiku ini.
Maka kuputuskan untuk menjauh darinya dan berharap rasa ini luntur perlahan.
Meski nyatanya, rasa ini justru semakin memburuku. Semakin aku menjauhinya,
rasa ini semakin kuat.
Kamu tidak akan pernah tahu betapa tersiksanya aku dengan semua
ini, Gilang. Ratapku dalam hati.
“Umurku sudah 27, dan mama menyuruhku untuk segera menikah.”
“Terus, udah ada calonnya?”
Ia mengangguk. “Calon pilihan mama. Kami juga baru mulai menjalani
pendekatan beberapa bulan terakhir ini.”
“Bagus dong. Kalau begitu, sikapku menjauh dari kamu itu sudah
tepat.” Gelombang gemuruh semakin menyesakkan hatiku ketika mengucapkan semua
itu. Bagai tsunami yang siap menelanku ke dasar bumi. Hati ini mulai menangis,
jiwa ini mulai meronta.
“Vit, aku tahu kamu masih muda. Aku juga tahu kalau kamu nggak mau
nikah muda sebelum kelar kuliah. Kuliah kamu 4 tahun, kan?”
Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaan terakhirnya.
“Empat tahun lagi, artinya umurku 31. Nggak terlalu tua, sih. Aku
siap nunggu kamu kalau kamu mau.”
Aku terkejut mendengar pernyataannya. Rasaya kini aku meleleh
seperti ice yang mulai mencair dan tak berbentuk lagi. Gilang,,, apa yang
barusan kamu ucapkan... itu membuatku semakin kacau.
“Maaf, mas. Tapi sekarang udah ada yang ngisi hatiku,” jawabku
dengan menunduk lesu.
“Bukannya senja kamu mau pergi?” Pertanyaan yang lagi-lagi
membuatku tersentak kaget.
“Ngepoin status bbm ya? Itu nggak berarti apa-apa, kok.”
“Jadi, beneran nggak bisa nih aku masuk di hati
kamu?”
Aku menggeleng. Terus menunduk, berusaha menahan air mata yang
siap meluncur dari bendungannya.
“Yaudah kalo gitu, semoga bahagia sama senja kamu, ya.
Oiya, kamu orang kantor yang pertama tahu soal rencana pernikahanku.”
“Ohya? Terus, kapan acaranya?” tanyaku dengan senyuman yang
kupaksakan mengembang.
“Dalam waktu dekat ini.”
“Selamat ya,” ucapku, “Jadi, kalau nggak kebetulan ketemu begini,
kamu nggak akan bilang ini semua, dong?”
“Aku tetap harus bilang ke kamu secepatnya. Karena kamu yang harus
tahu ini semua. Dan terlebih lagi buat memperjelas perasaan aku dan kamu.
Jujur, selama jalan sama calonnya mama, aku belum ngerasain ada chemistry, beda kalo jalan sama kamu.”
Aku mengangguk. Tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Nanar.
Kami merasa bahwa obrolan ini sudah cukup. Tak ada lagi yang perlu
dibicarakan. Lagipula, hatiku juga harus segera kuperban. Kami memutuskan untuk
pulang. Hujan kini telah berganti dengan gerimis.
“Aku antar, ya?”
“Nggak usah. Jelas-jelas kita beda arah.”
“Biar aku naik kereta dari Tebet.”
“Udah aku bilang, kereta ke Bogor dari Tebet itu penuh banget. Aku
naik taksi aja.”
Akhirnya taksi berwarna biru itu datang juga setelah beberapa
menit aku dan Gilang menunggu. Aku membuka pintu dan siap masuk ke dalamnya.
“Vit,” ucap Gilang menghentikanku masuk. Aku berbalik, menengok ke
arahnya.
“Ya?”
“Kamu harus datang, ya! Ajak senja kamu.”
“Insya Allah.” Aku tersenyum simpul dan langsung masuk ke dalam
taksi.
Ucapan terakhir gilang benar-benar melengkapi seluruh gemuruh yang
tengah terjadi dalam hatiku. Entah, tak dapat lagi kudengar kebisingan jakarta
malam ini. Semua terlihat gelap di tengah gemerlapnya lampu jakarta malam ini.
Mungkin, inilah yang dinamakan hampa.
Aku menatap nanar melalui kaca jendela. Memperhatikan rintik air
yang masih setia menemani malamku. Dingin. Lengkap sudah dinginnya menelanjangi
kulitku dan membekukan hatiku.
Terima kasih hujan, kau telah mempertemukanku dengannya dan
memberikanku waktu bersamanya malam ini. Meski rasanya tak lebih baik, namun
malam ini aku mendengar kabar baik tentangnya. Tentang kebahagiaannya. Semoga
ini adalah keputusan yang terbaik untukku ataupun untuknya.
Luka ini akan segera pulih, Tuhan... Kuburlah rasaku dan rasa
miliknya dalam keabadian kisah yang pernah kau buat, Tuhan...
by @fetihabsari