Imajinasi Senja Dalam Gelap
Senja adalah sahabat terbaik
untukku. Aku tak pernah bosan menantinya dan tak pernah lupa akan aroma jingga
yang selalu menyejukkan. Aku selalu hafal segala sesuatu tentang senja, karena
aku telah terbiasa menjemput senja meski dalam kegelapan sekalipun.
Gelap?
Ya gelap, karena aku adalah penyandang disabilitas.
Dari sekian miliar manusia di muka bumi ini, akulah salah satu yang terpilih
untuk terlahir sebagai tuna netra.
Aku tak dapat menyaksikan keindahan semesta, tak dapat melihat keagungan karya
Tuhan. Tapi aku dapat menikmatinya melalui hati dengan sejuta rasa.
Disaat
bercinta dengan sang senja, merasakan langit memelukku erat dalam kegelapan.
Hembusan angin sore yang membelaiku penuh dengan kelembutan, mampu meluluhkan
setiap jiwa yang lelah. Aroma jingga yang selalu bisa mendamaikan hati.
Semburatnya yang selalu tersenyum menyapa dunia tanpa pamrih. Aku dapat
merasakan itu semua meskipun tanpa harus melihatnya.
Sejak
kecil, aku telah terbiasa melangkahkan kaki mungilku ke taman kompleks yang
letaknya hanya beberapa blok dari rumahku. Ketika senja mulai menyapa, sendiri
aku telah menghafal jalan ke tempat ini. Aku selalu menjemput senja di taman
ini, lengkap dengan peralatan perangku yang terdiri dari kacamata hitam, white cane (tongkat lipat), dan
peralatan menulis. Aku lebih suka menulis menggunakan pulpen di atas buku
catatanku dibanding harus menggunakan greglet
plastik (alat menulis braille
bagi tuna netra).
Di
tempat ini aku selalu merangkai kata untuk senja, menuliskaan kisah ketika aku
sedang bersamanya. Tidak bisa melihat bukan berarti aku tak bisa mengabadikan
momentku bersamanya. Selama ini aku hanya sendiri di sudut taman ini. Disebuah
bangku taman yang terletak di bawah pohon rindang menghadap ke sebuah kolam
buatan. Hingga suatu ketika seseorang itu datang....
Seorang
pria yang tiba-tiba duduk disebelahku dan mengeja tulisanku yang baru saja aku
tuliskan di atas buku celotehanku. Aku tersentak kaget dan langsung menutup
buku celotehanku ini. Suaranya khas menyiratkan sifat tegas namun terselip
kelembutan. Hatiku yang bilang begitu.
Tanpa
basa-basi pria itu menarik tanganku berniat untuk memperkenalkan diri. Namun,
sebelum ia memperkenalkan diri aku sudah menarik kembali tanganku. Segera
menjauh darinya dan terburu-buru aku pergi meninggalkannya dan senja di taman.
Sesekali aku tersandung bebatuan di taman. Pria itu teriak memanggilku heran
mungkin kenapa aku terburu-buru pergi meninggalkan tempat ini.
Pria
misterius itu telah mengusik ketenanganku bersama senja. Menghancurkan suasana
yang telah kubangun sendiri ketika senja. Dengan keterbatasanku ini aku selalu
menjauh dari orang asing yang baru aku kenal. Mungkin sifatku ini juga yang
membuatku menyendiri dan tidak memiliki teman. Aku kurang bisa bersosialisasi.
Hanya kepada senjalah aku berteman. Sama halnya dengan pria misterius itu,
refleks aku pun menjauh darinya. Lagi pula aku hanya ingin sendiri menikmati
senja. Selama ini, sendiri itu cukup untukku.
***
Beberapa
hari telah berlalu semenjak pertemuan pertamaku dengan pria itu dan selama itu
juga aku tidak menjemput senja di taman demi menghindarinya. Dan sore ini aku
memutuskan untuk kembali menjemput senja di taman.
Aku
berharap pria itu tidak akan kembali lagi ke tempat ini. Menghilang dan tak
mengusik ketenanganku lagi. Namun ternyata aku salah. Ketika aku tengah asyik
melukiskan senja, bercerita tanpa suara dan hanya melalui kata di atas kertas
yang aku sendiri tidak bisa membacanya. Pria misterius itu kembali.
Ia
menanyakan kemana saja aku beberapa hari ini. Menanyakan alasanku atas absennya
aku beberapa hari ini dan tidak lagi menjemput senja disini. Aku tidak menjawab
sepatah katapun. Tidak sedikitpun aku menunjukkan sikap menerimanya. Namun kali
ini aku tidak pergi untuk menghindarinya. Tapi masih tetap dalam kebisuan aku
mengacuhkannya.
Hingga
pertanyaan Reivan menohok kantung tertawaku. “Kamu penulis ya?” Tanya Reivan.
Sontak
gelak tawaku pecah. “Hahaha,,, mana ada penulis buta?!”
“Loh
nggak ada kan undang-undangnya kalau orang buta nggak boleh jadi penulis.”
Tersentak
aku dengan perkataan pria itu. Aku hanya bisa terdiam mendengarkan perkataannya
barusan. Ya memang tidak pernah ada undang-undangnya bahwa orang buta nggak
boleh menjadi penulis. Tapi orang buta itu kan nggak bisa melihat! Jangankan
menjadi penulis, untuk membaca ulang rangkaian kata yang baru dituliskan
sendiri saja tidak bisa! Batinku berdebat dan memaki keadaan. Kini aku hanya
membisu dan membeku terduduk di atas bangku ini. Tawaku reda dan lagi-lagi aku
hanya diam membisu.
Akhirnya
pria itu memecah keheningan dengan meminta maaf kepadaku karena telah
menggangguku. Ia akan pergi jika aku memang terusik dengan kehadirannya. Namun
entah kenapa sikapku jadi berubah kepadanya. Aku tidak merasa terancam atas
kehadirannya. Hatiku berkata bahwa pria ini adalah orang baik. Aku selalu
percaya pada kata hatiku karena selama ini hanya hatiku-lah yang membimbingku
dalam kegelapan ini.
Guratan
sinisku menghilang berubah menjadi lengkungan senyum yang mengembang di
wajahku. Tuhan, aku tidak tahu seperti apa wajahku degan lengkungan senyum ini.
Semoga bisa menandingi keindahan senja.
Ternyata
namanya Reivan. Ia juga penikmat senja. Ia menceritakan senja melalui sebuah
lukisan. Ya Reivan adalah seorang pelukis, namun ia masih menyebut dirinya
sebagai pelukis amatiran. Seperti aku yang juga penulis amatiran. Hahaha,,,
“Sayang
aku nggak bisa melihat lukisan kamu.” Ada nada kekecewa dalam ucapanku ini.
Reivan
menarik tanganku, menaruhnya di atas sebuah paintbook.
“Coba rasakan! Disini ada hamparan langit biru dengan sekumpulan awan yang
saling bergumul satu sama lain. Terlukis semburat jingga yang begitu indah.”
Reivan menjelaskan apa yang tergambar di atas paintbook-nya sembari menuntun jari jemariku untuk merabanya.
Aku
tersenyum membayangkan lukisan Reivan. Pasti sungguh indah. Andai aku bisa
melihat, bukan hanya untuk melihat lukisan Reivan, tapi juga untuk memandang
wajahnya. Wajah dari seorang Reivan sang
pria misterius.
“Hei,,
kamu belum menyebutkan nama kamu!” Seru Reivan kemudian setelah sadar bahwa
sampai detik inipun aku belum memperkenalkan namaku.
“Aluna!
Namaku Aluna, panggil saja Luna!”
Sejak
pertemuan aku dan Reivan yang kedua, entah kenapa aku bisa menerima
Reivan–orang asing yang baru saja kukenal–dengan mudahnya masuk kedalam
hidupku. Kami sama-sama mencintai senja. melukis senja yang sama dan saling
bertukar kisah tentang senja.
Sejak
saat itu, aku tak lagi menikmati senja sendiri. Di taman ini, aku dan Reivan
dipertemukan oleh senja. Di penghujung senja, ketika jingga mulai beranjak
pergi meninggalkan langit dan berganti posisi dengan sang rembulan, kami saling
bertukar kata untuk senja kami sore ini.
Hari
berganti hari, senja demi senja telah kami lalui bersama. Reivan selalu suka
membaca buku celotehanku dan berkomentar atas apa yang telah aku tulis. Jiwanya
semakin masuk kedalam hidupku. Harapan seakan hadir menari-nari indah dalam
angan. Reivan bagai sosok sempurna yang tiba-tiba terdampar di bumi dan
bertugas untuk mendampingi orang buta sepertiku. Seoalah kian nyata dalam dunia
gelapku. Namun sosoknya masih tetap saja misterius dalam dunia terang yang tak
pernah bisa aku lihat.
Apakah
Reivan nyata? Atau hanya tokoh imajinasiku saja? Entahlah. Yang pasti aku sudah
dibuatnya kalang-kabut untuk menenangkan perasaanku sendiri. Sosoknya yang
selama ini hadir, diam-diam telah menelusuk masuk kedalam hatiku.
Entah
perasaan apa ini! Aku tak mengerti bahwa berada di dekatnya aku merasa nyaman
dan aman. Gelak tawanya selalu membawa energi keceriaan bagiku. Aku dapat
merasakan ketulusan dari dalam dirinya. Reivan adalah orang asing pertama yang
bisa dengan mudahnya masuk ke dalam hidupku.
Perasaan
ini semakin menjadi-jadi ketika rembulan mulai bersinar. Sendiri aku mengulang
kejadian setiap sore merasakan dekapan senja di sebalah Reivan. Wangi tubuhnya
selalu tercium dan melekat dikepalaku. Suara khasnya selalu terngiang di
telingaku. Ingin rasanya aku meraba wajahnya untuk sekedar membayangkan seperti
apa sosoknya.
Apa
ini cinta? Kenapa aku harus merasakan
ini? Cinta! Bagiku cinta hanyalah semu. Tak ada yang mau menerimaku dengan
tulus apa adanya dengan keadaanku seperti ini. Sebenarnya aku benci jika harus
merasakan ini semua. Karena aku yakin semua rasa ini hanya akan berujung pada
luka yang akan membusuk. Hanya bisa terpendam dan tak dapat terucap.
Kata
orang, cinta itu anugerah Tuhan. Tapi, dengan keadaan seperti ini apakah masih
bisa disebut anugerah?? Aaahh kenapa aku hanya bisa mengeluh dan memaki
keadaan?!
Rasa
ini semakin menjalari seluruh tubuhku. Tenggelam dalam perasaan yang tak
menentu dan akupun tak tahu apa yang kini tengah kurasakan. Membuat jiwa ini
semakin kuyu dibanjiri rasa sesak. Semakin menelusuk masuk, menggedor relung
hatiku dan meronta-ronta untuk keluar bebas bertemu dengan pemilik rasa. Yaitu
Reivan.
Hingga
akhirnya Tuhan memberikan keajaibannya padaku. Aku mendapatkan donor mata dan
segera aku menjalani operasi itu. Semua rasa bahagia bercampur menjadi satu
memenuhi seluruh jiwaku. Reivan, tunggu kejutan dariku ya! Batinku berkata pada
asa.
Aku
akan bisa melihat senja! Aku akan segera menikmati semesta karya Tuhan! Dan
pastinya aku bisa menatap wajah orang yang selama ini telah menyesakkan ruang
dihatiku. Yaaap orang itu adalah Reivan!
Sehari
sebelum kabar adanya donor mata yang mendadak itu aku bertemu dengan Reivan.
Pertemuan terakhirku dengan Reivan yang masih dalam kegelapan. Karena setelah
ini aku akan menjemput senja dalam terang dan berharap melukis kisah yang juga
terang bersama Reivan.
Dan
ternyata pertemuan terakhir itu adalah benar-benar yang terakhir.
Sore
itu, ketika aku bisa menikmati dunia yang terang. Alam semesta dengan segala
keindahannya. Aku ingin bercinta dengan lautan. Aku ingin menikmati senja dan
menatap hamparan langit biru yang terlukis jingga. Bersama sekaligus dengan
memandangi wajah Reivan. Aku kembali ke taman dan berharap Reivan terkejut
dengan kejutan yang akan kuberikan.
Namun,
hingga senja tenggelam dalam peraduannya dan berganti tempat dengan rembulan,
bintang gemintang saling berlomba menunjukkan sinarnya yang cantik, Reivan
tidak muncul juga.
Senja
berikutnya aku kembali ke taman ini, tempat yang menjadi saksi pertemuanku
dengan Reivan. Dengan perasaan cemas dan gelisah aku menantinya. Berusaha untuk
menikmati senja namun gagal karena pikiranku tertuju pada satu nama. Reivan!
Lagi-lagi hingga senja berganti malam sang pangeran senja itu tidak juga
muncul.
Senja
ketiga.... Senja keempat.... Senja kelima.... sungguh tak ada kabar darinya.
Sosok yang aku rindukan yang beberapa minggu ini menjadi mata untukku. Tuhan
apakah aku tidak pantas untuk merasakan bahagia? Apakah aku salah jika untuk
pertama kalinya aku ingin menatap cinta pertamaku? Pertama dalam hidupku
merasakan anugerah terindah-Mu ini Tuhan...
Senja
keenam. Sampai senja keenam sejak aku bisa melihat, aku tak pernah lelah
menjemput senja di tempat ini. Namun hatiku hampir lelah menanti sebuah
ketidakpastian akan sosok Reivan.
Tatapanku
menerawang tajam kedalam senja berharap menemukan sosok yang selama ini
diam-diam telah masuk menelusuk kedalam relung jiwaku dan mampu meluruhkan
segala logika yang telah kumiliki. Hamparan langit senja sore ini mendung,
seolah tergurat kesedihan sama seperti yang tengah kurasakan.
Dalam
kehampaan aku mendekap rindu, di bawah senja kini aku berharap akan kepastian
sebelum gelap menutup cerita hari ini. Apakah pekat yang sebentar lagi
menggantikan posisi sang senja akan menenggelamkan segenap asa sejenak mengubur
harapan yang tak berkepastian??
Apakah
dia nyata? Ataukah Reivan benar-benar hanya imajinasiku saja? Kini aku pasrah
akan takdir Tuhan. Kenapa ketika aku bisa menatap keindahan karya-Mu aku justru
harus terpisah dengan Reivan? Apakah aku harus tetap menjadi buta jika ingin terus
bersamanya? Mengapa senja yang kulihat ketika terang tak seindah senja yang
kurasakan dikala gelap dulu?
Rasa
ini benar-benar menyesakkan jiwa. Mungkin Reivan benar-benar hanya khayalanku
bersama senja. Hanya senja yang tahu segalanya apakah Reivan benar nyata atau
tidak selama ini.
Perlahan
aku membuka buku celotehanku yang telah lama tak ku buka. Aku membalik lembar
demi lembar. Untuk pertama kalinya bisa membaca ulang apa yang telah aku tulis.
Hingga pada halaman terakhir kutemukan sebuah sketsa seorang wanita duduk
disebuah bangku taman dengan buku di pangkuannya sedang menatap langit yang
tergores jingga. Ada pula rangkaian kalimat demi kalimat yang melengkapinya...
“Langit dan senja
selalu menampakkan keserasian yang begitu indah, seindah wajahmu. Hembusan
angin yang menerpa wajahmu dikala senja, memainkan tiap helaian rambutmu,
menelusuk membawa aroma tubuhmu, menyempurnakan suasana sore.
Oleh senja kita
dipertemukan. Menikmati dan melukis senja yang sama, bahkan senja turut andil
dalam kisah ini....
Senja memang tak selalu
jingga, terkadang justru abu-abu, mendung yang menggantung. Namun aku telah
berhasil melukis senjaku sendiri, senja yang lain dengan jingganya yang selalu
bersinar.... Aku sudah selesai melukis apa yang ingin aku lukis, yaitu kamu dan
senja. Seperti lukisan ini! Ya, dua ‘Senja’ karya Tuhan yang begitu indah telah kutemukan.
Ketika kamu memandang
senja, maka akupun sedang memandang senja yang sama tepat pada titik yang kamu
lihat!
Jangan pernah lupakan
gelap, karena gelap telah mengajarkan banyak hal...”
Dan
yang pastinya gambar dan kalimat ini bukan karyaku. Atau justru aku lupa kalau
sebenarnya ini adalah karya imajinasiku atas sosok Reivan? Imajinasiku akan
senja dalam kegelapan? Oohh Tuhan apa aku sudah gila? Apa aku mendadak menjadi
gila karena sosok misterius Reivan?!
Sosok
Reivan yang menghilang? Ataukah imajinasiku yang terlalu hidup? Semuanya begitu
terasa nyata. Mungkin inilah imajinasiku atas sosok misterius yang selama ini
ku rindukan namun tak kunjung datang. Betapa mengharapnya aku akan sosok
seseorang hingga aku menjadi gila dalam kegelapan dan mengharapkannya nyata
dalam gelap.
Gejolak
dalam jiwaku mendidih meronta meminta kejelasan yang tak kunjung terjawab. Batinku
terus bertanya hingga pada akhirnya aku menyerah akan semua gejolak perang
tentangku, senja dan Reivan. Aku lelah dan pasrah akan arti semua ini. Kututup buku
celotehanku ini.
Wajahku
selalu memanas ketika aku mengingat saat merasakan gejolak yang tak kumengerti
kepada Reivan dalam kegelapan yang tidak aku tahu sampai kapan. Air mataku
ingin meluncur bebas dari tempatnya namun tak pernah bisa keluar.
Ternyata
Tuhan menyuratkan takdir yang lain. Aku tak pernah bisa menatap Reivan dan aku
juga tak pernah bisa menyampaikan rasa ini padanya. Kini aku kembali, hanya
menikmati senja sendiri.. Meski kini aku masih tak yakin atas sosoknya yang
selama ini menemaniku bersama senja.
Kisah
ini tak selamanya indah seperti senja yang tak selalu terlukis jingga. Tapi
yang aku tahu pasti bahwa cinta itu tidak mengenal siapa aku dan siapa kamu.
Karena cinta itu sederhana dan tanpa alasan. Terkadang cinta itu butuh
pengorbanan. Pengorbanan tentang rasa dan ketulusan.
Kadang
aku selalu memohon pada langit. Senja, maukah kau membawaku serta tenggelam
dalam pekatnya kegelapan dan tak lagi merasakan kenyataan ini?!
Di
persimpangan senja kami dipertemukan dan diujung senja pulalah kami harus
berpisah. Dimana ada awal pasti akan ada akhir. Dan dimana ada pertemuan akan
selalu ada perpisahan. Perpisahan tak selamanya berarti berpisah. Tetap bersatu
dalam rasa yang sama mendekap dalam keabadian yang tulus. Kini, senja telah
beranjak gelap namun kisah ini takkan pernah berakhir selama hati masih dapat
merasa.
Reivan,
aku tak pernah mengerti tentang kamu. Tentang sosokmu yang sebenarnya nyata
ataukah semu. Namun yang kutahu pasti, senja telah mempertemukan kita. Biarlah
kini bayangmu ku kenang dalam semburat jingga yang takkan pernah lenyap dari
hidupku. Meski ini semua mungkin hanyalah imajinasiku akan sosok senja yang
kurindukan dalam kegelapan.
~selesai~
@fetihabsari
2 komentar
hai fetti.. salam kenal.. tulisannya apik..
REPLYselamat bergabung di #semestarasa ya..
keep writing :D
haiii dyazafryan salaam kenaaal :)
REPLYterima kasiih yaaa
Salam menuliss
Salam #semestarasa :D