Rabu, 05 Juni 2013

            Senja adalah sahabat terbaik untukku. Aku tak pernah bosan menantinya dan tak pernah lupa akan aroma jingga yang selalu menyejukkan. Aku selalu hafal segala sesuatu tentang senja, karena aku telah terbiasa menjemput senja meski dalam kegelapan sekalipun.
Gelap? Ya gelap, karena aku adalah penyandang disabilitas. Dari sekian miliar manusia di muka bumi ini, akulah salah satu yang terpilih untuk terlahir sebagai tuna netra. Aku tak dapat menyaksikan keindahan semesta, tak dapat melihat keagungan karya Tuhan. Tapi aku dapat menikmatinya melalui hati dengan sejuta rasa.
Disaat bercinta dengan sang senja, merasakan langit memelukku erat dalam kegelapan. Hembusan angin sore yang membelaiku penuh dengan kelembutan, mampu meluluhkan setiap jiwa yang lelah. Aroma jingga yang selalu bisa mendamaikan hati. Semburatnya yang selalu tersenyum menyapa dunia tanpa pamrih. Aku dapat merasakan itu semua meskipun tanpa harus melihatnya.
Sejak kecil, aku telah terbiasa melangkahkan kaki mungilku ke taman kompleks yang letaknya hanya beberapa blok dari rumahku. Ketika senja mulai menyapa, sendiri aku telah menghafal jalan ke tempat ini. Aku selalu menjemput senja di taman ini, lengkap dengan peralatan perangku yang terdiri dari kacamata hitam, white cane (tongkat lipat), dan peralatan menulis. Aku lebih suka menulis menggunakan pulpen di atas buku catatanku dibanding harus menggunakan greglet plastik (alat menulis braille bagi tuna netra).
Di tempat ini aku selalu merangkai kata untuk senja, menuliskaan kisah ketika aku sedang bersamanya. Tidak bisa melihat bukan berarti aku tak bisa mengabadikan momentku bersamanya. Selama ini aku hanya sendiri di sudut taman ini. Disebuah bangku taman yang terletak di bawah pohon rindang menghadap ke sebuah kolam buatan. Hingga suatu ketika seseorang itu datang....
Seorang pria yang tiba-tiba duduk disebelahku dan mengeja tulisanku yang baru saja aku tuliskan di atas buku celotehanku. Aku tersentak kaget dan langsung menutup buku celotehanku ini. Suaranya khas menyiratkan sifat tegas namun terselip kelembutan. Hatiku yang bilang begitu.
Tanpa basa-basi pria itu menarik tanganku berniat untuk memperkenalkan diri. Namun, sebelum ia memperkenalkan diri aku sudah menarik kembali tanganku. Segera menjauh darinya dan terburu-buru aku pergi meninggalkannya dan senja di taman. Sesekali aku tersandung bebatuan di taman. Pria itu teriak memanggilku heran mungkin kenapa aku terburu-buru pergi meninggalkan tempat ini.
Pria misterius itu telah mengusik ketenanganku bersama senja. Menghancurkan suasana yang telah kubangun sendiri ketika senja. Dengan keterbatasanku ini aku selalu menjauh dari orang asing yang baru aku kenal. Mungkin sifatku ini juga yang membuatku menyendiri dan tidak memiliki teman. Aku kurang bisa bersosialisasi. Hanya kepada senjalah aku berteman. Sama halnya dengan pria misterius itu, refleks aku pun menjauh darinya. Lagi pula aku hanya ingin sendiri menikmati senja. Selama ini, sendiri itu cukup untukku.
***
Beberapa hari telah berlalu semenjak pertemuan pertamaku dengan pria itu dan selama itu juga aku tidak menjemput senja di taman demi menghindarinya. Dan sore ini aku memutuskan untuk kembali menjemput senja di taman.
Aku berharap pria itu tidak akan kembali lagi ke tempat ini. Menghilang dan tak mengusik ketenanganku lagi. Namun ternyata aku salah. Ketika aku tengah asyik melukiskan senja, bercerita tanpa suara dan hanya melalui kata di atas kertas yang aku sendiri tidak bisa membacanya. Pria misterius itu  kembali.
Ia menanyakan kemana saja aku beberapa hari ini. Menanyakan alasanku atas absennya aku beberapa hari ini dan tidak lagi menjemput senja disini. Aku tidak menjawab sepatah katapun. Tidak sedikitpun aku menunjukkan sikap menerimanya. Namun kali ini aku tidak pergi untuk menghindarinya. Tapi masih tetap dalam kebisuan aku mengacuhkannya.
Hingga pertanyaan Reivan menohok kantung tertawaku. “Kamu penulis ya?” Tanya Reivan.
Sontak gelak tawaku pecah. “Hahaha,,, mana ada penulis buta?!”
“Loh nggak ada kan undang-undangnya kalau orang buta nggak boleh jadi penulis.”
Tersentak aku dengan perkataan pria itu. Aku hanya bisa terdiam mendengarkan perkataannya barusan. Ya memang tidak pernah ada undang-undangnya bahwa orang buta nggak boleh menjadi penulis. Tapi orang buta itu kan nggak bisa melihat! Jangankan menjadi penulis, untuk membaca ulang rangkaian kata yang baru dituliskan sendiri saja tidak bisa! Batinku berdebat dan memaki keadaan. Kini aku hanya membisu dan membeku terduduk di atas bangku ini. Tawaku reda dan lagi-lagi aku hanya diam membisu.
Akhirnya pria itu memecah keheningan dengan meminta maaf kepadaku karena telah menggangguku. Ia akan pergi jika aku memang terusik dengan kehadirannya. Namun entah kenapa sikapku jadi berubah kepadanya. Aku tidak merasa terancam atas kehadirannya. Hatiku berkata bahwa pria ini adalah orang baik. Aku selalu percaya pada kata hatiku karena selama ini hanya hatiku-lah yang membimbingku dalam kegelapan ini.
Guratan sinisku menghilang berubah menjadi lengkungan senyum yang mengembang di wajahku. Tuhan, aku tidak tahu seperti apa wajahku degan lengkungan senyum ini. Semoga bisa menandingi keindahan senja.
Ternyata namanya Reivan. Ia juga penikmat senja. Ia menceritakan senja melalui sebuah lukisan. Ya Reivan adalah seorang pelukis, namun ia masih menyebut dirinya sebagai pelukis amatiran. Seperti aku yang juga penulis amatiran. Hahaha,,,
“Sayang aku nggak bisa melihat lukisan kamu.” Ada nada kekecewa dalam ucapanku ini.
Reivan menarik tanganku, menaruhnya di atas sebuah paintbook. “Coba rasakan! Disini ada hamparan langit biru dengan sekumpulan awan yang saling bergumul satu sama lain. Terlukis semburat jingga yang begitu indah.” Reivan menjelaskan apa yang tergambar di atas paintbook-nya sembari menuntun jari jemariku untuk merabanya.
Aku tersenyum membayangkan lukisan Reivan. Pasti sungguh indah. Andai aku bisa melihat, bukan hanya untuk melihat lukisan Reivan, tapi juga untuk memandang wajahnya.  Wajah dari seorang Reivan sang pria misterius.
“Hei,, kamu belum menyebutkan nama kamu!” Seru Reivan kemudian setelah sadar bahwa sampai detik inipun aku belum memperkenalkan namaku.
“Aluna! Namaku Aluna, panggil saja Luna!”
Sejak pertemuan aku dan Reivan yang kedua, entah kenapa aku bisa menerima Reivan–orang asing yang baru saja kukenal–dengan mudahnya masuk kedalam hidupku. Kami sama-sama mencintai senja. melukis senja yang sama dan saling bertukar kisah tentang senja.
Sejak saat itu, aku tak lagi menikmati senja sendiri. Di taman ini, aku dan Reivan dipertemukan oleh senja. Di penghujung senja, ketika jingga mulai beranjak pergi meninggalkan langit dan berganti posisi dengan sang rembulan, kami saling bertukar kata untuk senja kami sore ini.
Hari berganti hari, senja demi senja telah kami lalui bersama. Reivan selalu suka membaca buku celotehanku dan berkomentar atas apa yang telah aku tulis. Jiwanya semakin masuk kedalam hidupku. Harapan seakan hadir menari-nari indah dalam angan. Reivan bagai sosok sempurna yang tiba-tiba terdampar di bumi dan bertugas untuk mendampingi orang buta sepertiku. Seoalah kian nyata dalam dunia gelapku. Namun sosoknya masih tetap saja misterius dalam dunia terang yang tak pernah bisa aku lihat.
Apakah Reivan nyata? Atau hanya tokoh imajinasiku saja? Entahlah. Yang pasti aku sudah dibuatnya kalang-kabut untuk menenangkan perasaanku sendiri. Sosoknya yang selama ini hadir, diam-diam telah menelusuk masuk kedalam hatiku.
Entah perasaan apa ini! Aku tak mengerti bahwa berada di dekatnya aku merasa nyaman dan aman. Gelak tawanya selalu membawa energi keceriaan bagiku. Aku dapat merasakan ketulusan dari dalam dirinya. Reivan adalah orang asing pertama yang bisa dengan mudahnya masuk ke dalam hidupku.
Perasaan ini semakin menjadi-jadi ketika rembulan mulai bersinar. Sendiri aku mengulang kejadian setiap sore merasakan dekapan senja di sebalah Reivan. Wangi tubuhnya selalu tercium dan melekat dikepalaku. Suara khasnya selalu terngiang di telingaku. Ingin rasanya aku meraba wajahnya untuk sekedar membayangkan seperti apa sosoknya.
Apa ini cinta? Kenapa aku harus  merasakan ini? Cinta! Bagiku cinta hanyalah semu. Tak ada yang mau menerimaku dengan tulus apa adanya dengan keadaanku seperti ini. Sebenarnya aku benci jika harus merasakan ini semua. Karena aku yakin semua rasa ini hanya akan berujung pada luka yang akan membusuk. Hanya bisa terpendam dan tak dapat terucap.
Kata orang, cinta itu anugerah Tuhan. Tapi, dengan keadaan seperti ini apakah masih bisa disebut anugerah?? Aaahh kenapa aku hanya bisa mengeluh dan memaki keadaan?!
Rasa ini semakin menjalari seluruh tubuhku. Tenggelam dalam perasaan yang tak menentu dan akupun tak tahu apa yang kini tengah kurasakan. Membuat jiwa ini semakin kuyu dibanjiri rasa sesak. Semakin menelusuk masuk, menggedor relung hatiku dan meronta-ronta untuk keluar bebas bertemu dengan pemilik rasa. Yaitu Reivan.
Hingga akhirnya Tuhan memberikan keajaibannya padaku. Aku mendapatkan donor mata dan segera aku menjalani operasi itu. Semua rasa bahagia bercampur menjadi satu memenuhi seluruh jiwaku. Reivan, tunggu kejutan dariku ya! Batinku berkata pada asa.
Aku akan bisa melihat senja! Aku akan segera menikmati semesta karya Tuhan! Dan pastinya aku bisa menatap wajah orang yang selama ini telah menyesakkan ruang dihatiku. Yaaap orang itu adalah Reivan!
Sehari sebelum kabar adanya donor mata yang mendadak itu aku bertemu dengan Reivan. Pertemuan terakhirku dengan Reivan yang masih dalam kegelapan. Karena setelah ini aku akan menjemput senja dalam terang dan berharap melukis kisah yang juga terang bersama Reivan.
Dan ternyata pertemuan terakhir itu adalah benar-benar yang terakhir.
Sore itu, ketika aku bisa menikmati dunia yang terang. Alam semesta dengan segala keindahannya. Aku ingin bercinta dengan lautan. Aku ingin menikmati senja dan menatap hamparan langit biru yang terlukis jingga. Bersama sekaligus dengan memandangi wajah Reivan. Aku kembali ke taman dan berharap Reivan terkejut dengan kejutan yang akan kuberikan.
Namun, hingga senja tenggelam dalam peraduannya dan berganti tempat dengan rembulan, bintang gemintang saling berlomba menunjukkan sinarnya yang cantik, Reivan tidak muncul juga.
Senja berikutnya aku kembali ke taman ini, tempat yang menjadi saksi pertemuanku dengan Reivan. Dengan perasaan cemas dan gelisah aku menantinya. Berusaha untuk menikmati senja namun gagal karena pikiranku tertuju pada satu nama. Reivan! Lagi-lagi hingga senja berganti malam sang pangeran senja itu tidak juga muncul.
Senja ketiga.... Senja keempat.... Senja kelima.... sungguh tak ada kabar darinya. Sosok yang aku rindukan yang beberapa minggu ini menjadi mata untukku. Tuhan apakah aku tidak pantas untuk merasakan bahagia? Apakah aku salah jika untuk pertama kalinya aku ingin menatap cinta pertamaku? Pertama dalam hidupku merasakan anugerah terindah-Mu ini Tuhan...
Senja keenam. Sampai senja keenam sejak aku bisa melihat, aku tak pernah lelah menjemput senja di tempat ini. Namun hatiku hampir lelah menanti sebuah ketidakpastian akan sosok Reivan.
Tatapanku menerawang tajam kedalam senja berharap menemukan sosok yang selama ini diam-diam telah masuk menelusuk kedalam relung jiwaku dan mampu meluruhkan segala logika yang telah kumiliki. Hamparan langit senja sore ini mendung, seolah tergurat kesedihan sama seperti yang tengah kurasakan.
Dalam kehampaan aku mendekap rindu, di bawah senja kini aku berharap akan kepastian sebelum gelap menutup cerita hari ini. Apakah pekat yang sebentar lagi menggantikan posisi sang senja akan menenggelamkan segenap asa sejenak mengubur harapan yang tak berkepastian??
Apakah dia nyata? Ataukah Reivan benar-benar hanya imajinasiku saja? Kini aku pasrah akan takdir Tuhan. Kenapa ketika aku bisa menatap keindahan karya-Mu aku justru harus terpisah dengan Reivan? Apakah aku harus tetap menjadi buta jika ingin terus bersamanya? Mengapa senja yang kulihat ketika terang tak seindah senja yang kurasakan dikala gelap dulu?
Rasa ini benar-benar menyesakkan jiwa. Mungkin Reivan benar-benar hanya khayalanku bersama senja. Hanya senja yang tahu segalanya apakah Reivan benar nyata atau tidak selama ini.
Perlahan aku membuka buku celotehanku yang telah lama tak ku buka. Aku membalik lembar demi lembar. Untuk pertama kalinya bisa membaca ulang apa yang telah aku tulis. Hingga pada halaman terakhir kutemukan sebuah sketsa seorang wanita duduk disebuah bangku taman dengan buku di pangkuannya sedang menatap langit yang tergores jingga. Ada pula rangkaian kalimat demi kalimat yang melengkapinya...
“Langit dan senja selalu menampakkan keserasian yang begitu indah, seindah wajahmu. Hembusan angin yang menerpa wajahmu dikala senja, memainkan tiap helaian rambutmu, menelusuk membawa aroma tubuhmu, menyempurnakan suasana sore.
Oleh senja kita dipertemukan. Menikmati dan melukis senja yang sama, bahkan senja turut andil dalam kisah ini....
Senja memang tak selalu jingga, terkadang justru abu-abu, mendung yang menggantung. Namun aku telah berhasil melukis senjaku sendiri, senja yang lain dengan jingganya yang selalu bersinar.... Aku sudah selesai melukis apa yang ingin aku lukis, yaitu kamu dan senja. Seperti lukisan ini! Ya, dua ‘Senja’ karya Tuhan yang  begitu indah telah kutemukan.
Ketika kamu memandang senja, maka akupun sedang memandang senja yang sama tepat pada titik yang kamu lihat!
Jangan pernah lupakan gelap, karena gelap telah mengajarkan banyak hal...”
Dan yang pastinya gambar dan kalimat ini bukan karyaku. Atau justru aku lupa kalau sebenarnya ini adalah karya imajinasiku atas sosok Reivan? Imajinasiku akan senja dalam kegelapan? Oohh Tuhan apa aku sudah gila? Apa aku mendadak menjadi gila karena sosok misterius Reivan?!
Sosok Reivan yang menghilang? Ataukah imajinasiku yang terlalu hidup? Semuanya begitu terasa nyata. Mungkin inilah imajinasiku atas sosok misterius yang selama ini ku rindukan namun tak kunjung datang. Betapa mengharapnya aku akan sosok seseorang hingga aku menjadi gila dalam kegelapan dan mengharapkannya nyata dalam gelap.
Gejolak dalam jiwaku mendidih meronta meminta kejelasan yang tak kunjung terjawab. Batinku terus bertanya hingga pada akhirnya aku menyerah akan semua gejolak perang tentangku, senja dan Reivan. Aku lelah dan pasrah akan arti semua ini. Kututup buku celotehanku ini.
Wajahku selalu memanas ketika aku mengingat saat merasakan gejolak yang tak kumengerti kepada Reivan dalam kegelapan yang tidak aku tahu sampai kapan. Air mataku ingin meluncur bebas dari tempatnya namun tak pernah bisa keluar.
Ternyata Tuhan menyuratkan takdir yang lain. Aku tak pernah bisa menatap Reivan dan aku juga tak pernah bisa menyampaikan rasa ini padanya. Kini aku kembali, hanya menikmati senja sendiri.. Meski kini aku masih tak yakin atas sosoknya yang selama ini menemaniku bersama senja.
Kisah ini tak selamanya indah seperti senja yang tak selalu terlukis jingga. Tapi yang aku tahu pasti bahwa cinta itu tidak mengenal siapa aku dan siapa kamu. Karena cinta itu sederhana dan tanpa alasan. Terkadang cinta itu butuh pengorbanan. Pengorbanan tentang rasa dan ketulusan.
Kadang aku selalu memohon pada langit. Senja, maukah kau membawaku serta tenggelam dalam pekatnya kegelapan dan tak lagi merasakan kenyataan ini?!
Di persimpangan senja kami dipertemukan dan diujung senja pulalah kami harus berpisah. Dimana ada awal pasti akan ada akhir. Dan dimana ada pertemuan akan selalu ada perpisahan. Perpisahan tak selamanya berarti berpisah. Tetap bersatu dalam rasa yang sama mendekap dalam keabadian yang tulus. Kini, senja telah beranjak gelap namun kisah ini takkan pernah berakhir selama hati masih dapat merasa.

Reivan, aku tak pernah mengerti tentang kamu. Tentang sosokmu yang sebenarnya nyata ataukah semu. Namun yang kutahu pasti, senja telah mempertemukan kita. Biarlah kini bayangmu ku kenang dalam semburat jingga yang takkan pernah lenyap dari hidupku. Meski ini semua mungkin hanyalah imajinasiku akan sosok senja yang kurindukan dalam kegelapan.


~selesai~
@fetihabsari

2 komentar

hai fetti.. salam kenal.. tulisannya apik..
selamat bergabung di #semestarasa ya..
keep writing :D

REPLY

haiii dyazafryan salaam kenaaal :)
terima kasiih yaaa
Salam menuliss
Salam #semestarasa :D

REPLY

Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates