Selasa, 29 Maret 2016



"Udah sih, pacaran sama pendaki aja, Fet, pendaki lebih perhatian dan romantis dari pada penyair loh.”

Sebuah bisikan yang mengetuk pintu telinga dan menggedor dinding hati. Entah, akhir-akhir ini sering keluar pernyataan pendaki vs penyair yang selalu menggema nyaring di setiap sudut hidup saya. 

Pendaki. Penyair. Dua dunia yang berbeda, namun tidak bisa dikatakan berbeda juga. Dua dunia yang juga saya selami. Dua dunia yang tidak bisa saya pilih hanya salah satunya saja. Berbeda mungkin, sama juga tidak. Namun keduanya memiliki posisi yang sama di bumi ini. Bukankah kita semua adalah sama di bumi ini.

Bagaimana bisa pendaki lebih romantis dari pada penyair. Semua kembali pada persepsi dan pengalaman pribadi masing-masing orang. Seperti saya, misal yang turut menyelami keduanya. Sedikit saya bisa mengalami bahwa yang kita bayangkan tidak selamanya mutlak.

Selintas, banyak yang memandang bahwa penyair itu romantis dan manis, sedangkan pendaki itu cuek dan berantakan. Sudah insting manusia memang untuk menilai sesuatu dari tampak luar. Nyatanya, belum tentu, bisa jadi justru sebaliknya.

Pendaki bisa saja menjadi sosok yang paling perhatian dibalik sisi berantakannya. Penyair bisa saja keluar dari sisi romantisme yang tercapture dalam syair-syair manisnya. Pendaki bisa mendadak menjadi penyair di ketinggian ribuan mdpl. Penyair bisa saja menjadi pendaki demi memetik sebuah inspirasi atau memulihkan patah hati.

Bukankah tidak ada yang tidak mungkin?

Di sini, saya tidak ingin membandingkan antara pendaki dengan penyair. Keduanya memiliki tempat dan posisi yang sama, hanya bagaimana cara pribadi masing-masing dalam menganggapnya dan menilainya dari pengalaman pribadi tersendiri. Keduanya memiliki hak yang sama untuk mencintai dan dicintai, untuk memiliki dan dimiliki.

Pendaki atau penyair atau bahkan perpaduan dari keduanya, bukankah semua sudah tercetak jelas dalam skenario Tuhan.

Saat ini, saya memang sedang menjalani sekenario bersama penyair yang jauh dari sisi romantis, keluar dari barisan syair-syair manis miliknya.

Tetapi besok atau pun lusa tidak ada yang tidak mungkin jika tiba-tiba bersama pendaki. Atau bahkan tidak dengan keduanya. Pendaki atau pun penyair.

Atau barangkali bersama pendaki yang juga sekaligus penyair, atau sebaliknya. Apakah buku tidak bisa menyatu dengan perjalanan? Pendaki dan penyair, bukan pendaki vs penyair.

Bukankan buku adalah sebuah petualangan? Buku merupakan perjalan, sama dengan pendakian. Artinya keduanya tidak dapat dipisahkan.

Pendaki atau pun penyair. Perjalanan atau pun buku. Kenapa tidak keduanya? Mengapa tidak melebur menjadi sebuah satu kesatuan?

Bukankah kita bisa mendaki ketinggian ribuan mdpl bersama, berjuang hingga puncak tertinggi, menghalau segala peluh dan suhu ekstrim hingga akhirnya bersantai di puncak tertinggi bersama, manikmati bait-bait syairmu yang manis. Hanya untukku. Sebab hanya ada aku di sampingmu.

Ini bukan perihal romantisme semata atau perhatian yang berlebih, tetapi lebih kepada memberi dan menerima, memahami dan melengkapi, kesadaran dan usaha. Tidak ada yang tidak bisa jika ada keinginan dan usaha.

Pendaki atau pun penyair, bahkan perpaduan antara keduanya, kamu bebas memlih. Bukankah yang kamu anggap baik tidak selamanya baik juga menurut skenario Tuhan.


It’s life. 

True love is how you always be there for complementary and understand, not to demand and prosecuted. All is conscientiousness. That comes from the heart will definitely immortal.


@fetihabsari

Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates