Rabu, 04 November 2020



Manusia memang selalu bisa berencana, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Sebab manusia tidak pernah benar-benar tahu apa yang terbaik di antara yang paling baik untuk dirinya sendiri.


“Posisi janin sudah bagus semua, kepala sudah di bawah, mulai masuk pinggul, sehat juga. Sudah bisa lahiran normal ini.” Bahagia dong rasanya mendengar penjelasan dokter di usia kehamilan minggu ke-32 saat itu. “tapi saya tidak menyarankan normal, karena ada kista,” lanjutnya sembari menjelaskan beberapa resiko yang akan terjadi.


Di minggu ke-32 itu kami harus memutuskan apakah ingin tetap mengambil persalinan pervaginam dengan berbagai risikonya atau tindakan c-section. Pulang ke rumah dengan perasaan galau campur aduk. Saat itu Galih menyemangati dan membujuk untuk ambil tindakan yang paling aman, yaitu c-section. Dari awal pernikahan hingga kehamilan, Galih tidak pernah menuntut harus ini itu, hingga proses persalinan pun ia tidak pernah bicara ‘harus normal!’. Tidak. Galih hanya ingin, apa pun jalannya ia ingin yang terbaik untuk saya dan anak kami.


Keberadaan kista yang berdampingan dengan si janin mengharuskan saya untuk menjalani c-section meski posisi janin sudah sangat bagus untuk persalinan pervaginam. Selama kehamilan saya memang rajin mengafirmasi positif bagi tubuh dan janin, banyak membaca hal yang berkaitan seputar kehamilan dsb, hingga yoga. “Ikhtiar untuk bersalin normal,” kalau kata dokter.




Tetapi Tuhan memang telah menggariskan jalan yang lain. Jalan yang terbaik untuk saya dan bayi kami. Tidak ada kata sedih saat itu. Kami bahagia dan penuh semangat. Memantapkan diri untuk teguh pada c-section. Proses operasi akan dilakukan bertingkat. Setelah operasi c-section dan bayi keluar dengan selamat, kemudian langsung dilakukan operasi pengangkatan kista sekaligus. 


28 Oktober 2019 tepat di hari Sumpah Pemuda, janin yang sudah memasuki minggu ke-37 dan siap untuk menyapa dunia. Kami memilih hari Sumpah Pemuda untuk menyambut baby mungil ke dunia. Karena persalinan c-section, maka kami dapat memilih tanggal.


Pagi dengan penuh kehangatan itu tidak sedikit pun terbersit suasana tegang mencekam yang sebelumnya selalu dibayangkan. Pukul 6 pagi kami bergegas ke RSIA. Pukul 7 pagi saya sudah harus ada di ruang IGD untuk preparasi kondisi. Masih belum ada rasa tegang. Rasanya bahagia yang bercampur haru. Tiba di IGD, Galih mengurus beberapa administrasi. Sedangkan saya dipersiapkan untuk cek detak jantung bayi, alergi, pendarahan, hingga dibius. Tidak, saya tidak sendiri selagi Galih mengurus administrasi. Saya ditemani ibu mertua. Memiliki ibu kedua yang luar biasa baiknya adalah anugerah. Di saat tes alergi yang rasanya lebih menyakitkan dibanding bius di ruang operasi, ibu yang menggenggam tangan saya. Menemani hingga tuntas proses selama di IGD.


Setelah proses persiapan dan semua kondisi baik, saya dipindahkan ke ruang rawat inap. Semua keluarga mulai berkumpul. Ruangan dipenuhi kehangatan yang penuh dari dua keluarga. Ezaz telah dinantikan dengan banyak cinta. 




Jadwal masuk ruang operasi pukul 13.00, tapi saya sudah dipasang oksigen karena detak jantung bayi agak menurun, katanya. Mungkin ada sedikit rasa stress yang menyebabkan hal tersebut. Selama menanti waktu hingga siang hari, om-om baik hati yang mau mengabadikan moment hadirnya Ezaz pun mulai bekerja. 


Ezaz, waktu kamu masih di dalam perut ibu banyak sekali orang baik yang menawarkan ingin mengabadikan moment kita bertemu untuk pertama kalinya. Bahagia sekali ya kita yang selalu dikelilingi banyak orang baik. Maka, kelak ketika Ezaz lahir maka kamu harus menjadi orang baik kapan dan di mana pun Ezaz berada.


Waktu bergulir sangat amat cepat. Saya pun dipindahkan ke ruang persiapan operasi. Saat itu, ketika hanya ada saya dan Galih yang coba menghibur serta menenangkan rasa tegang yang baru tiba-tiba saja hadir, kami berdua malah menangis. Ada rasa takut yang tiba-tiba merayap dalam hening. Kami hanya berharap semoga semua berjalan dengan lancar.


Memasuki ruang operasi, rasa dingin langsung menusuk tanpa permisi. Sendiri. Tanpa ditemani Galih. Saya harus menghadapi meja operasi sendiri. Itu mungkin yang membuat saya merasa takut dan menangis sebelumnya.


Tubuh yang mulai menggigil dan telah didudukkan di atas meja operasi ini dipeluk oleh seorang suster yang agak gemuk dan sangat ramah. Dan tanpa aba-aba tulang belakang saya disuntikkan obat bius. Tidak terasa sakit seperti yang orang-orang kebanyakan katakan. Mungkin energi positif dari para dokter dan suster yang baik telah mengelilingi setiap sudut ruang operasi yang tidak lagi menakutkan ini telah mengurangi rasa sakitnya. Tapi tidak dengan rasa dinginnya.




Prosesnya sangatlah cepat. Setelah disuntikkan bius, saya kembali dibaringkan. Tiba-tiba perut bagian atas terasa seperti ditekan-tekan dan ada tarikan. “sebentar ya, bu, dedeknya lagi dikeluarin sama dokter, rasanya emang kayak ditarik gitu,” ujar suster yang siaga di samping saya menenangkan. Saya tenang, tapi juga tidak mengira bahwa prosesnya secepat itu. Perut yang sudah disobek dan Ezaz yang sedang dalam proses dikeluarkan. 


Pukul 13.26 Ezaz hadir ke dunia dengan lengkap dan sehat. Untuk pertama kalinya saya melihat Ezaz dari balik kain operasi yang menutupi bagian bawah dengan haru bahagia dan air mata yang mengalir. Ezaz langsung dibawa untuk dibersihkan. Tidak ada proses IMD. Sedih, tapi tidak apa. Saya ikhlas. Kami semua Ikhlas.


Sebelumnya memang sudah bicara dengan dokter untuk proses IMD. Dokter berkata bisa jika semuanya dalam kondisi baik dan lancar. Tapi saat itu kondisi saya memang sudah menggigil parah dan operasi harus tetap lanjut.


Berkali-kali saya bertanya ke suster, apakah Ezaz sehat, karena saya tidak mendengar suara tangis Ezaz sedikit pun saat itu. Padahal kata semua orang yang menunggu di luar ruang operasi, suara tangis Ezaz sangat kencang terdengar. Suster berkata “sehat, bu. Anaknya ganteng.” Tak berapa lama Ezaz dibawa ke samping saya dengan berbalut kain hangat dan bersih. Lagi, saya menangis dan mengucap syukur. Tak lama Ezaz di sisi saya, kemudian ia kembali dibawa oleh suster lain.


Operasi terus berjalan. Detik demi detik kini terasa sangat lama. Saya kedinginan. Menggigil hebat. Ingin semua segera selesai. Saya pun tidak dapat mencerna dengan jelas apa yang dokter katakan langsung kepada saya perihal kista yang sulit diambil saat operasi berlangsung. Saya tidak mampu menjawabnya. Ada dua suster di samping saya. Satu suster gemuk ramah yang memeluk saya saat dimulai bius, saat itu mengelus-elus pipi dan telinga saya agar tetap hangat. Satu suster lagi mengelus-elus tangan saya, upaya menghangatkan. Tapi gigil tak juga pergi. Semakin hebat malah. Saya seolah kehilangan waktu, entah saat itu saya dibius total untuk beberapa saat, yang saya ingat saat melihat jam yang ada di dinding samping kanan saya tiba-tiba sudah pukul 14.30. 




Tepat pukul 15.00 operasi selesai. Saya dipindahkan ke ruang pemulihan, masih dalam kondisi menggigil parah. “Dingin,” hanya itu yang keluar dari mulut saya selama satu jam di dalam ruang pemulihan. Di ruang pemulihan saya mendengar berbagai percakapan dengan bias dari banyak orang yang berganti menemani. Dan lagi-lagi Ezaz yang saat itu ada di benak saya. “Ezaz di mana? Ezaz belum minum susu,” saya terus bicara itu ke Galih dalam kondisi tubuh yang tak kunjung stabil. 


Ibu yang sangat khawatir berulangkali bertanya ke suster perihal kondisi saya yang selalu dijawab, “tidak apa-apa bu, nanti kondisinya stabil sendiri”. Tapi saya bisa stabil dan berada di ruang pemulihan memang cukup lama, sekitar satu jam. Mungkin kondisi yang agak parah itu juga disebabkan di ruang operasi terlalu lama dalam kondisi setengah sadar. Mungkin.


Setelah dipindahkan ke ruang rawat inap, semua sudah mulai cerah. Bahagia yang dipenuhi cinta membumbung di udara. Banyak sekali yang menunggui saya dan Ezaz saat itu. Ada keluarga saya, keluarga galih, sahabat, teman-teman. Alhamdulillah. Kami mendapat cinta yang luar biasa banyaknya.


Tak lama kemudian saya bisa satu ruangan dengan Ezaz. Ingin hati memeluknya, tapi apa daya diri ini yang duduk pun belum bisa. Hanya bisa puas memandangi Ezaz dari balik kaca box bayinya. Hanya bisa puas mengelus Ezaz yang tak cukup lama.


Saat malam ketika bius sudah mulai hilang, rasa sakit yang sangat amat menusuk hadir. Malam pertama di RS hanya ada saya dan Galih. Galih menyuruh semua keluarga untuk pulang beristirahat meski mereka tidak ingin. Ezaz pun kami serahkan kepada suster untuk ditaruh di ruang bayi. Untungnya memang hanya kami berdua malam itu, jadi hanya kami berdua yang melalui malam panjang itu.


Saya ngantuk dan lelah. Ingin sekali rasanya mata ini untuk terpejam, tapi rasa sakit yang tak terbendung ini hanya bisa membuat saya merintih dan menangis. Ketika suster datang untuk mengecek infus dan bertanya, “terasa mulas nggak bu perutnya?”


“Sangat, sus. Tapi mulas sakit sekali. Ini karena bius hilang ya sus?”


“Oh, bagus bu. Artinya kontraksinya berjalan baik. Kita memang kasih obat kontraksi di infusnya, karena kalau nggak kontraksi bisa pendarahan. Nanti kalau infus habis, sakitnya hilang kok bu,” jelas suster.




Jika ada yang berucap “kalau lahiran c-section itu hanya ngerasain sakit belakangan,”. Bayangkan deh mulai dari masuk IGD segala pemeriksaan sudah dilakukan, tangan yang ditusuk jarum sana-sini itu sakit. Suntik cek anti alergi, pasang infus, cek pendarahan, suntik bius, pasang kateter. Itu semua baru di awal. Apa semua itu bukan hal yang menyakitkan? Sakit.


Atau jika sering ada yang berucap “Ibu yang melahirkan c-section itu nggak akan merasakan jadi ibu yang sutuhnya,”. Memutuskan untuk melahirkan secara c-section itu bukan hal mudah karenan setiap ibu hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Melahirkan c-section pun sama halnya bertaruh nyawa untuk melahirkan nyawa baru ke dunia.


Ketika banyak yang bicara bahwa melahirkan c-section tidak merasakan nikmatnya kontraksi, saya justru merasakan itu. Rasa sakit yang justru lebih berlipat karena ada luka sayatan bekas operasi. Sejak jam 10 malam saat bius mulai hilang dan infus diganti, saat itulah rasa sakit luar biasa itu mulai hadir. Saat itu, rasa sakit bekas sayatan operasi pun tidak ada apa-apanya. Infus yang berisi obat perangsang kontraksi itu mengalir hingga pukul 4 sore. Malam panjang itu saya lalui berdua dengan Galih, merasakan sakitnya kontraksi pasca c-section yang memang tak mampu saya utarakan dengan kata, hanya mampu dirasakan.


Dari selesai operasi hingga 18 jam merasakan kontraksi saya tidak tidur sama sekali. Galih pun sama. Ia memutuskan tidur di bawah dekat ranjang saya, meskipun di seberang ada tempat tidur kosong. Ia takut kalau saya butuh apa-apa dia tidak bangun. Galih meletakkan berbagai benda yang bisa digunakan untuk melempar membangunkannya jika saya tak mampu berteriak. Nyatanya Galih pun tidak bisa semudah itu tidur. Ia duduk di samping ranjang memegang tangan saya dengan bingung harus apa agar saya tidak merasa kesakitan lagi sembari menahan kantuk. Malam panjang itu kita lalui dengan nikmat. Berdua.


Dengan apapun caranya melahirkan, seorang ibu tetaplah menjadi ibu sepenuhnya. Seutuhnya tetaplah seorang ibu. Setiap kelahiran selalu memiliki ceritanya tersendiri. Setiap anak yang lahir ke dunia selalu memiliki kisah yang tak sama.




Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates