Selasa, 13 Oktober 2020

 


Pernikahan kami sudah memasuki bulan kesepuluh tepat di akhir Februari. Ketika hari berlalu dan memasuki awal Maret, sebuah firasat datang mengetuk sunyi. Jadwal menstruasi yang biasanya selalu tepat waktu, saat itu sudah terhitung telat seminggu. Agak excited, tapi juga tidak berharap. Kenapa? Pertama, saya dan suami memegang prinsip bahwa Tuhan akan memberikan hadiah terindah di waktu yang tepat. Seperti kami, dipertemukan dan dipersatukan di waktu yang tepat. Jadi jika bukan saat ini artinya sekarang bukan saat yang tepat. Kedua, kami masih dengan asyik menikmati masa pacaran halal dengan banyak kegiatan dan traveling berdua. Ketiga, takut merasa kecewa dengan hasil testpack yang beberapa bulan lalu sudah pernah kami coba tapi hasilnya negatif.


Di awal Januari ketika memasuki awal tahun dengan banyak harapan baru, saya dan suami sudah membicarakan hal yang serius memang mengenai anak. Kami sudah mulai menyiapkan  anggaran dan mental, berencana setelah lebaran di 2019 nanti akan melakukan konsultasi ke spog dan ikut program hamil. Saya sudah banyak googling dan cari tahu perihal prosesnya. Sudah merasakan duluan nyeri-nyeri dalam menjalani prosesnya. Bahkan saya sudah googling sampai ke masalah bayi tabung. Mulai dari proses, rumah sakit, hingga biaya. Agak lebay memang, tapi begitulah.


Di bulan Februari saat suami ulang tahun, saya belum bisa memberinya hadiah yang ia inginkan. Seorang bayi mungil. Tapi kami terus berdoa. Dan Allah secepat kilat mengabulkan doa-doa kami. Ternyata di bulan suami ulang tahun, sudah ada rejeki luar biasa dari Allah di rahim ini. 


Kami belum memutuskan untuk beli testpack saat telat seminggu. Saya menyabarka diri untuk menunggu seminggu lagi. Saat itu saya merasa tidak ada yang berbeda dari tubuh ini selain telat menstruasi. Saya dan suami masih suka pecicilan jalan jajan ke mall. Masih yang pagi siang sore malam minum kopi sesuka hati tanpa takaran dalam sehari. Jadi saya merasa “ah, paling cuma telat doang.”.



Di minggu kedua yang menstruasi belum datang juga, akhirnya kami memutuskan dan memberanikan beli testpack. 7 Maret 2019, pukul 8 pagi kita coba tes. Hasilnya menunjukkan garis dua. Perasaan saat itu “wow” dan campur aduk. Kurang percaya, kami cek testpack lain. Hasilnya? Sama! Reaksi saya saat itu tak bisa berkata-kata, sedangkan Galih merembes dong air matanya.


Sebelum periksa pertama, saya googling banyak dokter dan rumah sakit. Akhirnya saya dan suami bisa melihat bayi kami untuk yang pertama kalinya via layar USG. Tapi selain itu ditemukan juga kista berukuran lumayan besar. Rasa bahagia langsung berganti cemas. Cemas takut bayi mungil kami kenapa-kenapa di dalam sana.



“Ini ada kista, hamilnya lama  ya? Sebulan lagi kita lihat lagi, kalau janinnya tidak berkembang, langsung kita kuret!” dengan sadis dan tegas dokter itu nyerocos tanpa peduli perasaan pasien yang baru saja diliputi kebahagiaan ini.


Kami tak berlama-lama berhadapan dengan dokter yang tidak menyenangkan itu. Keluar ruangan dan sembari menunggu hasil serta menyelesaikan administrasi, saya menangis deras. Tidak mampu lagi menahan air mata yang sedari tadi telah menggedor untuk keluar. Saya menangis di tempat umum. Saya tahu di situ banyak yang memperhatikan saya. Dari beragam tatapan, seolah saya seorang ibu yang baru saja kehilangan bayinya atau gagal hamil. Galih menenangkan, tapi saya tidak bisa tenang. Saya hanya ingin segera pulang. 


Seminggu kemudian saya ke rumah sakit berbeda dengan mencari rekomendasi dokter lain. Bersyukur saya bertemu dokter yang lebih positif dengan banyak support. Dokter bilang, bayinya berkembang dengan sangat baik. Tidak perlu dipikirkan kistanya, tapi harus fokus ke bayinya. Meski masih harus terus dipantau.



Pada trimester pertama merupakan masa yang saya rasakan sungguh berat. Bawaan bayi saya cukup berat, pusing, mual, muntah, hingga tak bisa makan sama sekali. Berat badan pun langsung terjun bebas. Saya sangat khawatir akan nutrisi bayi saat itu. Tapi katanya kalau mual itu artinya bayi sehat, berkembang dengan baik dan kuat.


Ketika saya tidak bisa makan apa pun, tetapi ingin tetap makan demi bayi mungil ini rasanya antara putus asa tetapi tidak boleh menyerah. Saya makan apa pun yang bisa masuk tanpa menggedor untuk langsung dimuntahkan lagi. Saya tidak bisa makan nasi dan makanan berat lainnya meskipun ingin. Yang bisa masuk melewati tenggorokan tanpa dimuntahkan lagi hanya buah-buahan dan camilan. Saya berusaha memilih buah dan camilan yang mengandung vitamin penting untuk janin. Bersyukurnya saya bisa minum susu untuk ibu hamil tanpa rasa mual.


Setelah 3 kali ke dokter, ditemukan luka di luar kantung. Kata dokter, saya kecapaian dan harus bedrest. Saat itu saya memang sering sekali bolos kerja. Seminggu hanya 1-2 hari saja sanggup berangkat ke kantor. Saat di kantor di jam istirahat pun saya hanya bisa terbaring tiduran tanpa bisa makan. Tapi saya percaya bahwa proses ini tidak akan lama hingga akhirnya nanti kami bisa saling bertemu dalam dekap.



Memasuki trimester dua merupakan masa yang paling membahagiakan. Saya sudah mulai bisa makan apa pun tanpa mual dan muntah. Porsi makan pun berkali-kali lipat. Semacam balas dendam. Sudah bisa jajan apa pun yang saya inginkan. Mulanya benar-benar mengontrol makanan yang boleh dan harus dihindari ibu hamil, tetapi rasanya malah frustasi bikin stress karena hasrat ingin makan ini itu tidak terpenuhi. Setelah googling dan konsultasi dokter akhirnya saya makan apa pun yang saya inginkan tanpa pantangan tetapi tetap matang kecuali salad. Ya, saya tidak bisa menahan hasrat untuk makan salad hokben.


Perkembangan janin yang luar biasa sehat dan kuat, perjalanan melalui trimester satu yang sungguh campur aduk benar-benar menjadi poin plus saat itu. Saya sudah mulai kuat untuk beraktivitas normal meski masih tetap tidak bisa kecapaian. Tapi semua sudah mulai membaik, bahkan sudah bisa dapat surat untuk terbang, yang artinya sudah bisa jalan-jalan naik pesawat lagi.


Kemudian tibalah trimester ketiga. Masa-masa yang sungguh membahagiakan karena artinya waktu pertemuan kami akan semakin dekat. Meskipun nafas sudah mulai susah, kaki membengkak, dan perut mulai begah. Pergerakan pun mulai terbatas. Semuanya harus serba ditolong suami. Mulai dari pakai dan lepas kaos kaki, sepatu, sampai celana. Tidur mulai susah kalau bagian belakang tidak dielus-elus dulu. Setiap malam kaki pun harus dipijat suami karena rasa nyeri yang menusuk. 


Menyenangkan sekaligus mendebarkan. Rasa bahagia itu bercampur dengan rasa cemas akan sakitnya proses persalinan nanti. Kuatkah aku melaluinya? Mampukah aku bertahan dengan baik?






Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates