Kamis, 27 September 2018


Picture by link

Terkadang beberapa cinta memang harus direlakan bukan dipertahankan. Sebab hati itu untuk merasa, bukan baja yang siap dihajar.

***

“Aku baru beli sepeda,” ujarnya tanpa menghentikan gerakan tangannya yang cekatan mengelap buku-buku tua pada rak yang juga sama tuanya dari debu yang selalu setia datang butir demi butirnya.

“Untuk apa?”

“Untuk kunaiki bersamamu mengelilingi desa.”

Aku kembang sepatu yang tumbuh di sebuah desa sejuk dan damai. Aku masih sangat polos nan lugu saat dipetik dan diletakkan dalam vas bunga yang sangat sederhana. Aku meenyukainya, terlebih saat ia menyukaiku juga. Itulah perasaan.

Aku suka sepeda. Maka saat ia mengatakan membeli sepeda untuk kita naiki bersama, aku bahagia hingga merona. Aku suka naik sepeda, sebab aku tumbuh di desa, bukan di kota. Aku suka duduk di bangku penumpang berupa besi keras yang dingin, melingkarkan tangan pada sebuah pinggang yang kakinya tengah lembut mengayuh pedal, menghirup tiap hembus angin yang menerpa. Pelan dan perlahan. Terasa lebih romantis. Aku suka itu.

Cukup meembahagiakan hidup di sebuah desa dengan hijaunya rerumputan basah di pagi hari yang tenang dan damai. Dikelilingi kicau burung dan nyamannya gumpalan kabut lembut. Hidup sederhana di sebuah desa sudah cukup sempurna dalam bayanganku, terlebih dengan adanya kamu. Si petani sederhana pujaanku. Aku bisa membersihkan buku-buku tuamu dari debu sementara kamu berpeluh lelah di ladang bersama cangkul dan lemah. Bersama kita bisa berkeliling desa dengan sepeda yang baru saja kamu beli. Indah bukan?

Namun semuanya tak lagi sama setelah si petani itu lebih memilih seorang gadis muda dari desa sebelah. Bahkan sebelum ia memenuhi ucapannya saat itu, membawaku keliling desa dengan sepeda yang baru dibelinya. Belum pula kujumpai sosok sepeda itu serupa apa.

Kuakui gadis itu cantik rupa, namun kurasa tidak cukup sepadan dengan si petani pujaanku. Kurasa gadis itu teramat polos melebihi aku. Ah, tidak. Mungkin dulu aku juga seperti itu. Mungkin si petani memang senang dengan para gadis polos lugu yang penurut, maka saat aku sudah mulai bisa mengajaknya berdebat hebat, aku mulai diabaikan perlahan.

“Gadis itu lebih bisa menerima aku apa adanya,” serupa alibi klasik meluncur dari bibir yang perlahan tak lagi kudambakan.

Apa aku kurang bisa menerima dia apa adanya? Apa aku selalu menuntut ini dan itu? Apa aku separah itu hingga layak dihempas begitu saja? Beribu pertanyaan dengan segudang emosi meluap dalam pikiran yang tak mampu kubendung. 

Sempat kumengumpat dan memakinya. Bersama si gadis muda kuserapahi pula ketidakbahagiaan hidup mereka. Tapi apa yang kudapat? Hanya pedih dan perih yang semakin teramat menyayat. Bahkan dosa yang bertumpuk. Aku tidak ingin layu dan membusuk hanya karena cinta yang tak pantas lagi kupertahankan.

Aku hampir gila. Mungkin aku sudah setengah gila. Jika saja pria dengan harum bunga lavender itu tidak menyelamatkanku dari jalan pinggiran desa. Dengan hati-hati ia membawaku serta ke dalam mobil mewahnya yang juga semerbak bunga lavender. Terasa nyaman dan aman.

Jika dulu aku bertahan merawat hati sendiri meski tahu kenyataan bahwa si petani pujaanku mulai mengabaikanku, semua itu karena aku takut bahwa tidak akan ada yang bisa mencintaiku sebagaimana si petani yang begitu mencintaiku. Tapi kini kumenemukan kenyataan lain. Bukan aku yang tak layak dicintai, tapi si petani itu. Ia tak layak mendapatkan seluruh hati dan perasaanku selama ini.

Kini aku menjelma bak anggrek bulan yang semakin semerbak nan anggun. Diletakkan dalam vas kristal yang dirawat penuh dua puluh empat jam nonstop. Yang kuhirup bukan lagi rumah kayu pengap berdebu, tetapi harum lavender di seisi rumah bak kastil istana. Kini yang kusuka bukan lagi sepeda, yang kudamba bukan lagi mengelilingi desa dengan sepeda bersama si petani itu.

Aku sudah terbiasa dengan mobil mewah, perlakuan layaknya ratu dalam istana. Aku suka duduk dengan manis di samping pria dengan harum bunga lavender yang tengah di belakang kemudi. Ia selalu memanjakanku dengan mobil mewahnya yang juga harum semerbak lavender.

Pria dengan harum bunga lavender itu mencintai dan mengasihiku dengan sangat amat melebihi dari yang bisa kuduga. Ia dengan cepat mampu menyembuhkan luka hatiku. Merawat perasaanku dengan teramat lembut dan nyata. Mendekapku tanpa lelah saat berdebat. Menggenggam saat kehilangan arah. Tanpa pernah banyak meminta, ia selalu mengajarkan, bukan meninggalkan.

Bukankah benar adanya jika Tuhan akan mengambil sesuatu untuk menggantikannya dengan yang lebih baik berjuta-juta kali lipat. Maka saat bertahanmu sudah tak lagi dihargai, relakan. Sebab hati berhak untuk tersenyum.

Bukankah dalam setiap perjalanan hati memang harus selalu adanya 'saling', bukan berjalan masing-masing?




Jakarta, 27 September 2018

Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates