Sabtu, 14 Januari 2017




Dua Ibu, sebuah novel karya Arswendo Atmowiloto yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka. Sebuah karya fiksi terbaik tahun 1981 Yayasan Buku Utama. Sebuah karya terbaik di saat saya pun belum terbentuk di dunia ini.

Sebuah kisah yang bercerita perihal perjalanan kisah kasih sayang, kisah perjalanan seks, kisah perkawinan, dan juga kisah kematian yang pendek. Ditulis dengan gaya album. Menyajikan suasana per adegan, tidak selalu berurutan tetapi berangkaian, kadang membawa emosi, menyeret kenangan, dan melahirkan penilaian.

Dalam  kehidupan ada dua macam ibu. Pertama, sebutan untuk perempuan yang melahirkan anaknya. Kedua, sebutan untuk perempuan yang merelakan kebahagiaannya untuk kebahagiaan anak orang lain, dengan rasa bahagia pula. Yang paling istimewa jika dua macam sifat itu bergabung menjadi satu.

Sebuah novel berlatar pengakuan Mamid, seorang anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Dan pengakuan dari kedelapan anak yang lain yang dikeluargakan karena kasih sayang ibu dan ayah. 

"Ibu tidak pernah menghendaki pangkat tertentu. Ibu hanya ingin anak-anaknya bahagia." Begitulah tentang ibu yang akan selalu diingat Mamid. Ibu yang akan tetap menjadi ibu untuknya dan kedelapan saudaranya, meskipun mereka sudah memiliki ibu dan keluarga masing-masing.

Mamid merupakan seorang anak kelas enam SD yang memiliki orang tua kaya raya di Jakarta. Namun nyatanya Mamid lebih menginginkan tinggal bersama ibu yang selama ini ia sebut sebagai ibu di sebuah kampung dengan garis kemiskinan. Bahkan ia memanggil ibu kandungnya yang kaya raya itu dengan sebutan tante. Satu-satunya hal yang akhirnya berhasil meluluhkan Mamid untuk ikut ke Jakarta bersama orang tua kandungnya adalah keinginannya untuk menjadi Jendral dan kembali pulang membahagiakan ibu di kampung.

Seorang ibu yang membesarkan kesembilan anak dari keluarga yang berbeda-beda dengan penuh kasih dan sayang yang melimpah, tanpa ada sedikit pun pembeda-bedaan. Ibu yang dengan tulus membesarkan di tengah himpitan ekonomi yang tidak mudah.

Di dalam hidupnya yang sederhana, bahkan bisa dikatakan miskin tetapi ibu tidak pernah menganggap mereka miskin. Ibu selalu berkata, “miskin itu jika kita benar-benar sudah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dimakan.”. Mereka memang pernah merasakan kelaparan, tetapi mereka masih mempunyai sesuatu yang bisa dimakan. Meski sesuatu itu hanya sebutir telur yang harus dibagi menjadi sembilan, atau sebuah pisang yang juga musti dibagi.

Luar biasanya, Ibu selalu mengatur itu semua untuk kesembilan anak yang bukan dari rahimnya sendiri itu dengan baik dan bijak. Ibu pun selalu berkata, “sudah kenyang” atau “sudah makan” meski sebenarnya ibu sendiri belum makan.

Ibu yang rela menjual apa saja yang bisa dijual di rumah saat akan mengadakan pesta pernikahan atau sunatan untuk kesembilan anaknya yang tanpa pernah dibedakan. Ibu yang sudah menjadi ibu, tetapi ia masih ingin menjadi ibu untuk anak-anak yang lain.

Kisah sederhana yang dijabarkan dengan menarik oleh Arswendo ini mampu menggugah hati nurani saya. Cerita seorang Ibu yang mengasuh sembilan anak dari keluarga yang berbeda. Ibu yang tak pernah membeda-bedakan kasih dan sayang. Seorang ibu yang mengorbankan kebahagiannya sendiri untuk  kebahagiaan orang lain. Kebahagiaan anak-anak yang bukan dari rahimnya sendiri.

Dan saya teringat ibu. Ibu yang melahirkan saya sekaligus merelakan kebahagiaannya untuk saya dan adik saya satu-satunya. Saya selalu ingat ibu. Tapi saat ini saya lebih teringat beliau. Dan saya ingin menangis karenanya. Ibu yang selalu mengesampingkan kepentingannya demi hal-hal untuk anaknya. Ibu yang selalu setia menanti anaknya saat pulang telat hingga larut malam sekali pun. Ibu yang selalu sabar menjadi pendengar untuk keluh kesah anaknya. Ibu yang selalu memberi kebebasan, tetapi juga dengan batasan wajar pada anaknya. Ibu yang selalu menjadi tameng dan berada di barisaan paling depan saat terjadi pertengkaran sang anak dengan sang ayah. Ibu yang selalu menjadi penghubung suara anaknya kepada sang ayah.

Ibu, akankah aku bisa menjadi sepertimu? Ingin aku menjadi perempuan sabar yang multitasking meski dalam keadaan lelah sekali pun dan tanpa pernah mengeluh. Bisakah aku membesarkan anak-anakku nanti sebaik engkau membesarkanku dan adikku hingga sebesar ini.

Ibu, jangan pernah lelah mengahadapi anakmu yang egois dan sering emosi ini.

Dua Ibu karya Arswendo telah berhasil membukakan mata hati serta pikiran saya untuk bisa lebih dekat dan selalu memeluk ibu. Meski sejauh apa pun kami nantinya dipisahkan oleh jarak, ibu adalah satu-satunya tempat untuk pulang. Menjadi rumah sekaligus surga untuk tempat menetap.

Ibu... aku mencintaimu… selalu...

1 komentar:

ibu adalah satu-satunya tempat untuk pulang. Selalu terharus membaca apapun tentang ibu.

agnesiarezita(dot)com

REPLY

Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates