Rabu, 23 November 2016



Hari minggu kemarin, seusai menyaksikan Drama Musikal Khatulistiwa, Jejak Langkah Negeriku, saya mulai memesan grabbike untuk pulang. Sekitar pukul 23.45 saat itu. Lama menunggu tidak ada driver yang mau mengambil orderan saya itu. Mungkin karena sudah menjelang tengah malam. Hingga memutuskan untuk naik taksi dari depan TIM saja jika tidak ada yang mau ambil juga. Sebenarnya memang lebih memilih untuk naik grabbike atau taksi umum (yang sudah terjamin namanya) dibanding grabcar karena saya lebih merasa aman naik motor dibanding di dalam mobil sendirian di tengah malam.

Selang beberapa menit akhirnya ada yang mengambil orderan saya juga. Seorang bapak-bapak yang sudah cukup tua. Usianya sekitar 50/60 tahunan.

“Malam banget, Dek, pulangnya?”
“Iya, habis nonton teater, Pak.”
“Oh, anak teater?”
“Bukan, Pak. Hanya suka dan kebetulan punya banyak teman baik yang berkecimpung di dalamnya. Jadi, ya begini deh.”

Itulah permulaan obrolan bersama driver grabbike di sepanjang perjalanan pulang menjelang tengah malam yang masih ramai itu.

“Suka teater apa saja?” bapak itu mulai menanyakan perihal teater lebih lanjut. Dan saya tidak bisa banyak menjawab dan menyebutkan kelompok teater mana saja yang saya suka. Sebab saya belum terlalu dalam juga terjun di dalam dunia ini.

“Suka nonton teater juga, Pak?” tanya saya akhirnya.
“Oh, saya sih memang berkecimpung di dunia seni.”
“Wah, hebat.”
Hahaha, hebat apanya? Wong Cuma tukang ojek.”
“Siapa tahu jadi tukang ojek hanya sambilan, Pak.”
“Sekarang saya cuma masih melukis. Suka melukis?”
“Nggak. Saya nggak bisa gambar, Pak. Cuma suka baca dan nulis. Itu pun nulis curhatan.”
“Wah, suka baca buku apa?”
“Apa saja saya suka, Pak.”
“Sastra suka?”
“Banget.”

Obrolan mulai masuk ke bacaan sastra. Bapak itu menanyakan siapa penulis favorit saya. Saya menyebutkan Seno Gumira Ajidharma, Sapardi Djoko Damono, dan masih banyak lagi, sebab memang banyak penulis sastra Indonesia yang keren-keren karyanya. Kami menyebutkan banyak nama penulis seperti Ahmad Tohari, Eka Kurniawan, NH Dini, dan lain-lain.

Kemudian dia menanyakan perihal apakah saya membaca buku-buku dengan judul Bumi Manusia, Jejak Langkah, Rumah Kaca, saat itu beliau agak lupa nama penulisnya. Saya pun langsung menjawab, buku-bukunya Pramoedya Ananta Toer, Pak? Nah, iya itu, katanya dengan penuh penekanan. Kalau Pram mah saya juga koleksi buku-bukunya, Pak, di rumah dan wajib itu, ujar saya makin semangat. Obrolan memanjang hingga membahas penulis luar negeri juga seperti Paulo Coelho, Ernest Hemingway, Albert Camus, Leo Tolstoy, dan mmasih banyak lagi.

“Lulusan IKJ, Pak?”
“Bukan. Saya mah otodidak aja.”

Keren sekali bapak ini. Entah kebetulan atau apa, saya dipertemukan dengan orang yang jarang sekali saya temui di Jakarta ini. Terlebih beliau sudah terlihat sangat senior. Beliau bukan lulusan dari pendidikan berkesenian bahkan satra, tapi beliau tahu semua. Dan saya beruntung bisa ngobrol dengannya. Meski berkali-kali beliau berkata “hebat apanya, wong Cuma tukang ojek.”.

“Masih kuliah, Dek?”
“Kerja, Pak.”
“Oh, kirain masih kuliah. Kerja di mana?”

Saya menyebutkan nama daerah yang jauh dari Jakarta. Saya menjelaskan bahwa basic saya Analis Kimia. Tidak ada basic seni bahkan satra, tetapi saya suka bahkan mencintai dunia seni dan sastra. Lagi-lagi beliau berkata “hebat”.

“Membaca itu wajib. Kebutuhan.” Itulah yang harus dicatat dan ditanamkan dalam-dalam dari pesan beliau malam itu.

Terima kasih, Pak, sudah mengantar dan menemani ngobrol di sepanjang perjalanan pulang menjelang tengah malam itu. Beliau memberitahu saya bahwa karya lukisannya bisa dilihat di google, sayangnya saya lupa nama yang harus dicari di laman google.



Kemudian pagi ini saya membaca sebuah artikel dari postingan yang dishare teman di FB perihal mahasiswa (anti) sastra. Kembali saya mengingat bapak driver malam itu. Beliau bukan lulusan sastra, tapi beliau mendalami dan mencintainya. Seperti saya. Mungkin.

Lalu saya ingat, sebuah obrolan dengan anak Sastra Indonesia. Ia mengaku lulusan Sastra Indonesia, suka membaca, dan menulis.  Sampai pada titik dia bertanya kepada saya apa itu ‘diksi’ dan apa itu ‘cerpen’. Di situ saya hanya bisa istigfar. Apa mungkin lulusan Sastra Indonesia tidak tahu hal-hal sederhana itu? Ia tidak tahu apa itu diksi, cerpen, genre, bahkan keharusan mencantumkan sumber ketika menggunakan karya orang lain untuk menghindari label plagiat.

Saya juga tahu, buku favorit yang sering dibacanya adalah buku Tere Liye. Tak jarang pula saya menemukannya menshare quote-quote dari akun Tere Liye. Sama seperti artikel di atas, saya bukan bermasalah dengan Tere Liye, tetapi apakah bacaan anak Sastra hanya mentok di Tere Liye? Saya juga bingung, apakah karya Tere Liye masuk dalam jenis sastra. Saya tidak tahu, apabila saya menyebutkan tokoh-tokoh penulis satra yang hebat-hebat itu apakah ia akan tahu dan sudah membaca karya-karyanya. Entahlah.

Ketika masuk toko buku dan rak best seller dipenuhi oleh buku-buku Tere Liye rasanya ada yang aneh. Saya selalu membayangkan betapa bahagianya jika yang ada di atas rak best seller itu adalah buku-buku Pramoedya, Seno Gumira, Eka Kurniawan, Ernest Hemingway, George Orwell, dan banyak lagi yang lebih-lebih untuk dilabeli best seller. 

Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates