Minggu, 13 Maret 2016


Malam-Malam Terang
Tasniem Fauzia Rais & Ridho Rahmadi
Gramedia Pustaka Utama
Editor : Donna Widjajanto
Perwajahan Isi : Budi Susanto
Perwajahan Sampul : Orkha Creative


Berawal dari kegagalan memperoleh nilai ujian akhir yang cukup untuk melanjutkan sekolah di SMA impiannya di Yogya, Tasniem, gadis yang saat itu baru 15 tahun, menantang dirinya untuk merantau ke luar negeri. Berbekal restu sang ibu yang rela menjual sepetak tanah, ia berangkat ke Singapura melanjutkan sekolah dengan tekad memenangi apa yang “direbut” darinya.

Hidup di Singapura dan belajar di sekolah internasional mengantarkan Tasniem melihat dunia global, di sisi lain, remaja belasan tahun ini juga didera cobaan hidup merantau; rindu keluarga, kesepian, terasing, dan uang pas-pasan seringkali merayunya untuk menyerah dan pulang.

Beruntung, Tuhan kirimkan tiga teman serantau; Cecilia asal China, Aarin asal India, dan Angelina dari Indonesia. Empat sekawan ini sekalipun berbeda dalam keyakinan dan banyak hal lain,  berhasil melewati suka-duka dan sukses membangun persahabatan. Petualangan mereka menjadi suguhan menarik sarat makna.

Mampukah Tasniem memenangi apa yang menjadi tekadnya? Mampukah ia menjadi bintang yang paling terang?

***

“Siapakah orang yang paling cerdas?”
“Orang yang paling cerdas adalah orang yang selalu mengingat kematian dan mempersiapkan kematian dengan sebaik-baiknya “

Malam-Malam Terang menceritakan sebuah kisah nyata dari seorang Tasniem Fauzia Rais. Beragam pergolakan batin dan kegalauan hati yang menderanya mampu ia kalahkan dengan usaha keras, bahkan lebih keras. Bahwa selalu ada ketenangan di tiap sepertiga malam dan menumpahkan segala keluh kesah hanya kepada Tuhan.

Menurut saya, di dalam buku ini banyak sekali makna dan pesan yang begitu nyata dan menyentuh. Haru biru kehidupan pun dapat terasa jelas dan sanggup membuat saya hampir meneteskan air mata. Di dalam buku ini lebih banyak bercerita perihal perjuangan Tasniem dalam meraih pendidikan. Hal ini mengingatkan saya tentang perjuangan saya menyelesaikan sekolah yang juga tidak pernah ada di benak dan bayangan setiap anak.

Kaget, jelas. Berada di sekolah yang sebelumnya tidak pernah ada dalam list rencana, segala sistem dan peraturan yang serasa memenjarakan, bertumpuk tugas yang tiada habisnya. Empat tahun perjuangan yang tidaklah mudah, jam-jam tidur yang terkikis dengan jadwal ulangan setiap hari. Masa sekolah yang serasa di neraka menuntut fisik, otak, dan juga mental yang tidak biasa. Beruntung, lingkungan pertemanan yang penuh kekeluargaan mampu menguatkan benteng pertahanan yang hampir jebol.

Hampir tiap malam saya merasakan apa yang juga Tasniem rasakan. Ketenangan tahajud di sepertiga malam, keluh kesah sehabis sholat menenangkan disetiap beban yang rasanya tak mampu lagi tertampung. Saya percaya,  bahwa Tuhan selalu ada.

Di sini juga saya merasakan arti sebuah persahabatan yang penuh kekeluargaan di tengah pergolakan dan perjuangan untuk menuntaskan tugas dan kewajiban demi membanggakan kedua orang tua. 

“Bahwa sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Jadikanlah kegagalan sahabat setiamu. Jangan takut gagal, kecuali kalau kamu takut sukses.” Dan benar, saya sudah merasakan kemudahan-kemudahan dari kesulitan-kesulitan terdahulu.

Sepanjang membaca buku ini saya dapat merasakan secara langsung perasaan dan suasana pergolakan yang dialami Tasniem. Saya bisa menjadi manusia tanpa jiwa ketika mendapat nilai tang tidak memuaskan, saya bisa menjadi zombie hidup ketika kegagalanlah yang didapat. Cerita di dalam buku ini ditulis dengan begitu mengalir tanpa kekakuan. Dan saya menikmati setiap perjalanan yang dituangkan dalam buku ini.

"...ketika engkau memberikan waktu untuk seseorang, maka seseorang tersebut pastilah penting bagi hidupmu. Waktu adalah bagian terpenting dari hidupmu yang rela kau korbankan untuknya." (hlm 76)

Kecuali jika sebaliknya. Apakah aku seseorang yang akan mendapatkan waktumu? Dengan diberi tentu saja, bukan dengan hasil meminta.

Di sini juga kita kembali diyakinkan, bahwa jodoh tidak akan kemana. Tuhan jelas sudah menyiapkan skenario dan rencana yang indah untuk mewujudkan kisah cinta dua anak manusia. “Cinta tak perlu akal, sebaliknya akal lah yang perlu cinta.”

“Alasan utama aku ingin menikah muda di umur 22 atau 23 tahun adalah, kelak ketika anak kita berumur 20 tahunan, kita akan berumur sekitar 45, masih cukup kuat dan sehat untuk menjadi seorang ibu dan sahabat. Waktu adalah investasi terbesar, begitu juga kesehatan.” (hlm 184)

Saya memiliki keinginan dan alasan yang sama dengan kalimat tersebut. Namun skenario tetap berada di tangan Tuhan. Kita hanya bisa berusaha dan terus memperbaiki diri untuk bisa menjadi bintang yang paling terang.

Di dalam buku ini saya mendapati ada beberapa typo atau kata yang tidak pas dan terulang. Selebihnya, Malam-Malam Terang banyak memberi semangat, pelajaran, dan inspirasi bahwa selalu ada terang di dalam kegelapan. Jadikanlah Tuhanmu tempat mencurahkan segala isi hatimu. Dan jadilah bintang yang paling terang.



Terima kasih kak Tasniem dan kak Ridho atas kiriman bukunya. Buku ini merupakan hadiah giveaway yang saya ikuti dari Klub Buku Bekasi.



@fetihabsari

Feti Habsari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates