Kamisan S3 #2; Merawat Kenangan
Tema Kamisan 2 pic by Fahmi Amrullah |
Ada yang pergi tanpa pernah kembali. Ada yang masih diam menanti. Pada riak gelombang bergelung janji, janji yang musnah ditelan takdir.
Pada sebuah tepi berpasir halus ditancapkannya
sebilah bambu, dibentuknya segitiga menyerupai sebuah lahan untuk menjemur
pakaian. Bukan, tapi bukan pakaian yang digantungkan di sana. Melainkan sebuah
jaring-jaring sederhana berwarna dengan dua ukuran dan memiliki kerangka
berwarna biru.
Angin barat yang berembus tak mampu menahan
terik yang menghunus kulit. Sering angin-angin itu hanya membuat kulitnya
terasa lengket dengan keringat yang perlahan mengering. Di depan, ombak
bergelung syahdu. Teratur dan tenang.
Ia terduduk di atas pasir halus tanpa alas untuk
sekedar melindungi kain yang dikenakannya sebagai bawahan. Sedang ujung-ujung
baju longgarnya yang tertiup-tiup angin turut bermain dengan pasir. Rambut
tipis yang mulai berubah warna itu digelungnya keatas membentuk sanggul acak.
Dengan mengenakan caping rotan ia berharap dapat sedikit terlindung dari terik
mentari tengah hari yang terkadang tak ramah.
Ibu Mia, namanya. Seorang penjual jaring di tepi
pantai selatan Gunungkidul, Yogyakarta. Usianya hampir menginjak kepala
lima, kulitnya sudah membentuk lipatan-lipatan halus, pandangannya mulai
mengecil. Ia dan jaring-jaringnya tak pernah absen dari tempat itu.
Tak pernah ada yang tahu pasti, kenapa Ibu Mia
selalu bertahan pada posisi yang sama setiap harinya bersama jaring-jaring yang
diberi harga lima ribu rupiah untuk ukuran kecil dan sepuluh ribu rupiah untuk
ukuran besar. Hingga suatu ketika ditemukan sebuah catatan yang tertinggal.
Catatan yang hampir terkubur di bawah pasir. Catatan kisah perihal Ibu Mia.
Hampir separuh masa hidupnya ia habiskan di
tempat ini. Duduk memandang ombak yang bergelung, menikmati terik bersama
embusan angin laut, dan menunggu bocah-bocah lucu membeli jaring-jaring yang ia
gantungkan pada bilah bambu. Hal-hal tersebutlah yang membuatnya bertahan di
sini. Bertahan pada kisah yang cocok diberi tema 'menunggu' ini. Sebuah
kenangan. Kenangan yang telah tertanam di pantai ini. Dan segala kehilangan.
Dua puluh lima tahun yang lalu, tempat ini
menjadi saksi atas sebuah janji sepasang kekasih. Janji untuk saling
melengkapi, membahagiakan satu sama lain, menghabiskan hidup bersama, bermain
pasir dan menjaring ikan manis bersama anak-anak mereka kelak, serta
menghabiskan masa tua dengan duduk bersama di bibir pantai menghabiskan senja
tenggelam.
Namun nyata tak seindah ingin. Hidup tak semudah
angan. Segala janji tergerus takdir. Ombak menenggelemkan segala angan. Kisah ini
tercipta melalui proses alam yang panjang. Seperti proses terciptanya pantai
ini. Pantai cantik dengan segala kenangan yang timbul tenggelam ini dahulu berada
di dasar laut. Bedanya adalah, jika pantai ini akhirnya timbul menjadi daratan,
sedangkan ia yang mencipta janji tenggelam menjadi kenangan.
Ibu Mia begitu setia pada pantai ini dan juga jaring-jaringnya.
Bahagia baginya saat ini hanyalah ketika anak-anak manis menghampirinya dan
membeli jaring-jaringnya. Bukan. Bukan personal karena ia mendapatkan uang dari
jaringnya yang terjual, tetapi lebih kepada raut ceria wajah-wajah polos itu. Dengan
jaring-jaring yang dijual ibu Mia, mereka bisa menangkap beragam ikan hias yang
menampakkan diri dari balik karang-karang indah di bibir pantai.
Tawa riang mereka ketika mampu mendapatkan ikan damselfish kuning dengan aksen biru di
punggungnya, atau gelak bangga saat menjaring ikan kepe (butterflyfish) bergaris biru tua dan muda, atau memamerkan ikan
Bestum, ikan Pogat serta ikan Tiger kepada temannya, hal-hal semacam itulah
yang membuat ibu Mia bertahan bersama jaring-jaringnya di sini.
Belum lagi hamparan hijau perbuktian kapur dengan
air biru yang menyajikan harmoni serasi bersama ricik gelombang yang memecah
karang. Tak ada alasan baginya untuk meninggalkan tempat ini. Tak ada alasan
baginya untuk berhenti bertahan di tempat ini. Hanya tempat ini yang membuatnya
terasa masih hidup meski dalam bayang-bayang masa lalu.
Ia memandang anak-anak yang berlarian riang
dengan jaring-jaringnya sebagai anak-anak pada angan-angannya dahulu. Ia memandang
perbukitan hijau sebagai tempatnya menghabiskan senja seperti inginnya dahulu. Ia
memandang ombak yang bergelung dari bibir pantai beralas pasir seperti mimpinya
dahulu. Segala harapan perihal hidupnya ada di tempat ini.
Ibu Mia masih tetap bertahan. Entah ia yang
teramat setia atau ia yang teramat bodoh. Ketika janji-janji telah tergerus
takdir, kekasih masa lalunya terseret ombak kenyataan, ia masih bertahan. Ia tahu
pasti, hatinya tak pernah berhenti mencintai kekasih masa lalunya. Meski hatinya
sendiri pun tak tahu di mana kekasih masa lalunya kini berada. Apakah sudah
berada di sisi Tuhan, atau bahkan masih berada di sisi perempuan yang telah
menjadi istrinya. Ibu Mia masih tetap bertahan bersama kenangannya. Hingga pada
sore ini, tak ada lagi sosoknya yang menunggui jaring-jaring. Hanya ditemukan
sebuah buku catatan lusuh terbenam pasir yang hampir tergerus air.
Tak ada kisah pasti perihal menghilangnya
kekasih masa lalu ibu Mia. Yang tergambar pasti hanyalah perihal sosok ibu Mia
yang tetap bertahan tanpa pernah melepas. Di pantai ini, Ibu Mia merawat segala
kenangannya dengan setia. Sebuah pantai di selatan Gunungkidul, Yogyakarta.
Pantai Krakal namanya.
Jakarta, Februari 2015
@fetihabsari